IV. Hujan Kemarin

16 3 0
                                    

Hari demi hari berlalu, bulan kini berubah menjadi tahun. Lukisanku mulai mendekati akhir, sebentar lagi aku akan pergi dari sini, meninggalkan karir dan segala hal yang kumiliki sebelumnya. Aku akan menghilang, memastikan Alan tidak lagi dapat menemukanku.

Namun, mengapa perasaan aneh ini merasukiku? Aku enggan menyelesaikan lukisan itu karena takut akan berpisah dengan Alan. Setiap memikirkannya, suhu tanganku berubah menjadi dingin dan jantungku berdegup kencang seakan meninggalkannya adalah dosa terbesar yang kuperbuat.

Aku tidak bisa terus merasa seperti ini, aku akan melakukannya demi kami berdua. Aku tak boleh egois hanya karena ingin terus bersamanya. Alan harus bahagia meski aku tak ada di sisinya. Aku pun harus bahagia dengan pilihanku agar tidak ada kemalangan lagi di antara kami.

"Alene?"

Suara bariton Alan menyadarkanku, ternyata kuas lukisku terjatuh ke lantai dan mengotorinya. Aku segera berlutut dan membersihkan noda itu.

Melihatku membersihkan ubin membuat Alan segera menarikku untuk berdiri. Menatap wajahnya membuatku tanpa sadar menitikkan air mata. Alan terkejut bukan main, ia segera memanduku duduk dan dia berlari mengambil tisu.

Alan berjongkok di hadapanku, dengan begitu lembut pria itu menghapus jejak air mataku dan menggenggam kedua tanganku.

"Apakah ada masalah di rumah?" tanyanya.

Aku tersenyum melihat Alan yang tak berubah, sikapnya ternyata masih sama seperti dulu, persis menurutku. Aku segera menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.

"Lalu?"

Aku terdiam beberapa saat, jika kupikir kami semakin dekat. Aku bahkan lupa niat awalku menerima tawarannya karena sungguh perasaan ini memabukkan.

"Tidak ada. Aku akan melanjutkan lukisanku." Aku bergeser mendekat ke kanvas, mulai kugerakkan tangan untuk kembali melukis.

Terdengar helaan napas Alan sebelum berdiri. Pria itu beranjak dari ruangan dan menghilang begitu saja.

Tanganku kembali berhenti, perlahan turun dan tatapanku pun ikut turun ke lantai. Hatiku semakin gundah jika memikirkan semua ini, beberapa kali pikiran jahatku berbisik untuk melanggar semua janjiku.

Sial, aku akan gila jika terus seperti ini!

Namun, kedekatan kami bukan tanpa sebab. Alan belum memiliki pasangan dan aku pun demikian. Mungkin karena sering bersama, aku merasa kedekatan kami terasa sangat intens meski belum sampai di fase Alan menyatakan perasaannya padaku.

Hal ini kembali terjadi, dahulu kami menjadi semakin dekat secara perlahan karena sering bertemu. Sebelum menikah dengannya, Alan menyatakan perasannya padaku dan membawaku ke tempat yang sangat indah. Di sana, dia melamarku dan tak lama kami menikah.

Aku tak ingin hal yang sama kembali terjadi, aku tak mau Alan bernasib buruk karenaku.

"Alene, ayo makan. Aku sudah siapkan makanan untukmu." Lagi dan lagi suara bariton Alan menyadarkanku. Aku segera mengangguk dan mengikutinya menuju dapur.

"Hari ini aku memasak makanan kesukaanmu."

Aku mengernyit, selama ini aku tak pernah menyebutkan makanan kesukaanku atau memperlihatkannya.

"Dari mana kamu tahu aku suka ikan bandeng?" tanyaku bingung.

Alan terdiam sejenak. Kulihat jakunnya naik turun seolah sedang menelan air ludah.

"Aku ... aku melihatnya di internet. Ya, manajermu mengetiknya di sana," jawab Alan cepat.

Aku mengangguk percaya. Alan segera menarik kursi untukku duduk dan dia duduk di sebelahku. Pria itu menyendokkan nasi ke piringku, perlakuan yang sangat manis.

"Kamu mau ekor atau kepalanya?" tanya Alan antusias.

"Kepala."

Dahulu, kami sama-sama suka kepala ikan bandeng. Namun, Alan sering kali mengalah untukku dan dia makan bagian ekornya agar kami tidak bertengkar masalah makanan.

Sekarang pun sepertinya begitu, kulihat raut kecewa Alan begitu kusebutkan bagian yang aku inginkan. Kami pun makan dengan lahap, aku sampai lupa sesaat dengan perang di kepalaku beberapa waktu yang lalu.

Begitu selesai makan, aku berdiri dan hendak kembali ke ruang kerja Alan. Namun, pria itu menarik tanganku dan membuatku kembali duduk.

"Kenapa?" tanyaku cepat.

Alan tersenyum menatapku, membuatku merinding.

Tangan pria itu terangkat, membuatku spontan menutup mata. Tak lama, aku merasa sesuatu menyentuh sudut bibirku. Aku pun membuka mata dan melihat Alan tertawa.

"Kamu pikir apa sampai tutup mata?" tanyanya lalu lanjut tertawa cekikikan.

"Kamu apain aku tadi?" tanyaku.

"Mulut kamu belepotan."

Mataku membulat, aku segera beranjak dari ruang makan dan kembali ke ruang kerja Alan. Sumpah aku malu sekali, bagaimana bisa aku tidak teliti dan membiarkan mulutku belepotan? Wajahku memanas, sepertinya berubah warna jadi merah bak kepiting rebus.

Dari ruang kerja Alan, aku masih bisa mendengar suaranya tertawa. Ah! Sial!

BERPUTAR DALAM BELENGGU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang