II. Rahayu, Kisah Akhir Hayat

39 20 2
                                    

Tak henti bibirku berucap kagum ketika kupandangi lekat rumah di hadapanku. Tak pernah juga kulihat rumah seperti itu, mungkin esok akan kuberi gelar rumah itu sebagai rumah terbesar yang ada di kampung ku.

Di kampung, saudara-saudaraku tidaklah punya rumah sebesar itu. Paling megah di antara mereka yang memiliki rumah kayu dan rumahku hanyalah terbuat dari bambu. Sementara rumah di hadapanku terbuat dari batu, rumahnya pun bertingkat dua dan kupikir sebulan kemudian akan ada maling yang akan menyicipi rumah itu.

Buluku berdiri, bagaimana rasanya tinggal di dalam sana? Aku seketika lupa dengan niat awalku saking takjubnya aku.

Aku berjalan memasuki halaman rumah, mengetuk pintu rumah dan diizinkan masuk oleh seorang pria.

Tidaklah aku mengenakan sandal, kulihat di dekat pintu masuk disediakan lap kaki, sudahlah pasti untuk orang sepertiku. Aku kemudian melangkah melewati pintu dengan badan membungkuk. 

Aku ingin duduk di atas kursi, tetapi aku segan dan akhirnya aku duduk di lantai. Dingin sekali, kulihat di hadapanku berdiri kipas angin. Pasti harganya mahal.

"Duduk di atas saja, Bung. Tuan rumah tidaklah pemarah." Pria yang mengizinkanku masuk berkata.

"Apakah tidak mengapa?" Aku ragu.

"Ya. Duduklah di sana."

Aku menurutinya dan duduk di atas kursi, rasanya lebih nyaman. Pria itu kemudian berpamitan denganku dan keluar dari rumah menuju kebun bunga.

Aku mengusap kedua telapak tanganku saking sejuknya di dalam rumah. Tak lelah kupandangi seluruh sudut ruangan yang dihiasi tanaman palsu.

Aku masih terus bungkuk, kurasa tanpa sengaja kuperlihatkan bahwa akulah seorang miskin yang ingin meminjam uang.

Seorang gadis datang kearahku dengan membawa nampan. Suara kleting dari gelas dan sendok terdengar. Gadis itu lalu berlutut dan meletakkan secangkir teh di atas meja.

"Ada apa gerangan Tuan datang ke sini?" Dia bertanya, suaranya terdengar lembut dan rendah.

"Aku ingin bertemu dengan pemilik rumah. Adakah dia di sini?" Aku balik bertanya, tak sabar bertemu dengan saudagar kaya itu.

"Ya, ayahku sedang sholat. Tunggulah sebentar lagi." Rupanya gadis itu adalah anak dari saudagar kaya.

Dia menunduk, sepertinya sedang menjaga pandangan dariku. Namun, kutemukan gerik tak nyaman darinya. Beberapa kali dia menyeka hidung dan mendengus pelan.

Aku lupa, aku langsung ke sini setelah dari pasar. Tak mandi dan tak bersih, pasti bau amis.

Gadis itu berdiri, aku melihat wajah cantiknya di posisi dudukku. Senyumnya sangat manis, teringat bunga indah di depan rumah ini.

"Aku pamit ke belakang, Tuan. Jika kau membutuhkan sesuatu, panggil lah aku. Namaku Rahayu."

"Baiklah Rahayu. Terima kasih atas jamuan mu."

Rahayu tersenyum, masih dengan wajahnya yang menghadap lantai.

Rahayu pun kembali ke dalam dan seorang pria separuh baya keluar, memakai sarung dan peci. Sepertinya dia lah saudagar kaya itu, yang baru saja selesai sholat.

Pria itu tersenyum lebar kepadaku, sangatlah ramah. Berbeda dengan pikiranku yang membayangkan dia galak.

"Assalamualaikum, Bung."

"Wa'alaikumussalam, Tuan."

"Ada apa gerangan kau mampir ke rumahku, Bung?" Pertanyaan yang sama dengan Rahayu. Buah tak jatuh jauh dari pohonnya.

"Saya dengar Anda dapat membantu, Tuan." Aku terus menggosok kedua telapak tanganku, tadinya karena dingin, kini sebab gugup.

"Bantuan apa yang bisa saya lakukan?"

Aku ragu mengatakannya, aku merasa sedikit gugup. Cemas-cemas dia merasa risih denganku.

"Aku ingin meminjam uang kepadamu."

"Sebelum saya menjawab, bolehkah saya tanyakan akan kau apakan uang itu?"

"Untuk membawa ibuku ke klinik, Tuan. Ibuku telah sakit parah, saya cemas kondisinya terus memburuk."

"Berapa yang kau butuhkan?"

Aku tidak tahu berapa yang kubutuhkan. Aku tak pernah juga ke klinik, maka aku tak tahu berapa banyak yang kubutuhkan untuk berobat di sana.

"Berapa pun yang Tuan kasih."

"Apakah kau sudah tahu ibumu sakit apa?"

Aku menggeleng, jujur saja aku tak tahu. Terakhir kali orang pintar di desa berkata Ibu sedang masuk angin. Akan tetapi, Ibu terus sakit hingga sekarang. Angin apa yang rupanya membuat Ibu seperti itu?

"Tunggulah sebentar."

Pria itu kembali masuk, pikirku dia akan mengambilkan uang.

Saat kulihat baik-baik, tanpa sengaja kulihat Rahayu mengintip. Mungkin dia penasaran, sebanyak apa yang akan kupinjam dari bapaknya.

"Jika kurang, katakanlah. Saya akan memberikanmu lagi." Dia meletakkan sebuah kain berisi uang di atas meja.

"Ambil lah."

Aku mengambilnya, terasa berat. Kira-kira sebanyak apa koin di dalamnya? Aku penasaran.

"Terima kasih, Tuan."

"Kau tak perlu memanggilku seperti itu. Panggil saja Datuk Amahorseja."

"Baiklah, terima kasih Datuk Amahorseja."

Dia ternyata ramah, kupikir akan ketus sebab kupinjam banyak darinya.

"Kau bekerja di pasar?" Dia bertanya.

"Ya, bagaimana kau bisa tahu, Datuk?"

"Saya bisa menerkanya."

BERPUTAR DALAM BELENGGU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang