III. Rahayu, Kisah Akhir Hayat

30 20 1
                                    

Itulah saat pertama kali aku bertemu Rahayu, gadis dengan kulit sawo matang dan manis. Sering-sering aku bertemu dengannya ketika aku mampir ke rumah Datuk Amahorseja. Dia selalu menjamuku dengan tehnya, pas kurasa manisnya.

Aku mengaguminya, dia selalu menjaga pandangan dan berkata lembut. Kupikir dia idaman banyak pemuda. Akupun menginginkannya, hanya saja aku tak berani mengatakannya.

Akan tetapi, suatu hari aku bertemu dengannya di pasar. Dia pergi sendiri, dia mampir membeli ikan Paman dan menyapaku.

"Tuan, adakah hari ini kau sibuk?" Dia bertanya malu-malu.

"Tidak, Rahayu. Ada apa? Apakah kau membutuhkan bantuan?" Aku berpikir mungkin saja dia bertanya sebab membutuhkan seseorang yang mau menyiramkan bunga di halaman rumahnya.

"Aku ingin ke pasar malam. Namun, aku diminta pergi sendiri sebab Ayah dan Ibu akan pergi menemui pamanku di kampung sebelah."

"Lalu?"

"Apakah kau bisa menemaniku?"

Aku terdiam mendengarnya, apakah ini semacam ajakan untuk jalan dengan Rahayu? Namun, aku tak ingin besar kepala. Takut apa yang ada di pikiran ku tidaklah sama dengan kenyataan.

"Rahayu, apakah kau tidak memiliki pria pujaan hatimu?" Aku bertanya, ingin memastikan apakah gadis di hadapanku sudah memiliki pasangan atau tidak. Bulu kudukku berdiri jika membayangkan akan diarak warga ketika membawa seorang gadis yang telah memiliki pasangan.

Rahayu semakin menunduk.

"Punya, Tuan."

Hatiku berubah mendung.

"Lalu mengapa kau mengajakku? Bukankah menyenangkan jika ke pasar malam bersama pujaan hatimu?"

"Aku sudah mengajaknya, Tuan. Namun, sepertinya dia enggan menemaniku."

"Bagaimana bisa dia menolakmu, Rahayu? Apakah dia tidak tahu secantik apa engkau?"

Rahayu tersenyum.

Dia, tersenyum?

Rahayu semakin menunduk malu-malu. Terlihat mengencangkan pegangannya pada tas rotan yang berisi sayur-sayuran.

"Lalu terimalah ajakanku, Tuan."

Aku terpaku mendengarnya, apakah maksudnya akulah pria itu? Pria pujaan hatinya? Mana mungkin?

"Tidak Rahayu. Aku takut akan mempermalukanmu."

Mendengar pernyataan ku, Rahayu mendongak. Baru kali ini kulihat seluruh sisi wajahnya. Terlihat kesal dan kaget, tetapi dalam waktu yang bersamaan terlihat cantik dan manis.

"Apa maksudmu berkata seperti itu, Tuan? Siapa yang berani berpikir seperti itu kepadamu?"

"Rahayu, jujurlah. Apakah kau menyukaiku?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.

Rahayu kembali menunduk, perasaanku semakin campur aduk. Aku takut akan lesu ketika duduk.

"Jika aku jujur, apakah akan mengganggumu?"

Aku menggeleng. "Tidak, Rahayu. Aku juga telah menyukaimu sejak lama. Jujurlah kepadaku, agar aku tahu harus bersikap seperti apa kepadamu."

"Ya, Tuan."

Jantungku berdetak kencang mendengarnya. Mimpi apa aku semalam? Amalan apa yang telah kuperbuat? Dia menyatakan perasaannya kepadaku dengan begitu tiba-tiba.

Pikiranku melayang, berpikir dan menerka bagaimana bisa Rahayu menaruh hati kepadaku? Kepada seorang pemuda miskin dan jelek.

Aku sudah lama menyukainya, mungkin sudah tiga tahun dan kini tiba-tiba dia menyatakan cinta.

"Aku pamit, Tuan."

Rahayu berpamitan dengan buru-buru sebelum sempat kukatakan apa jawabanku. Aku segera mengejarnya, meninggalkan jualan Paman sembari berdoa tak ada manusia jahat yang akan mencurinya.

"Rahayu!" Aku memanggilnya.

Rahayu berhenti berjalan, dia berbalik ke arahku dengan kepala yang masih menunduk.

"Kutunggu jawabanmu hingga petang nanti, Tuan."

Rahayu melanjutkan langkahnya tanpa niatku mengejarnya. Aku tersenyum senang, aku lompat kegirangan di pasar yang becek itu, menghiraukan orang-orang yang menegurku sebab airnya terciprat ke mana-mana.

Tentu saja aku akan pergi bersamanya, kesempatan emas ini mana mungkin aku buang? Meski aku miskin, aku tidak bodoh untuk menolaknya.

Ketika tiba di rumah, aku segera mandi dan bersiap. Ku kenakan pakaian bapakku dulu. Pakaian yang terlihat masih bagus setelah ku pilah dari beberapa helai kain yang telah dilahap tikus.

Jujur saja aku sangat gugup, pikiranku kemana-mana membayangkan betapa senangnya aku akan pergi ke pasar malam bersama Rahayu, gadis pujaan hatiku.

"Mau kemana, Nak?" Ibu bertanya, melihatku sedang bersiap dengan wajah berseri agaknya membuat dia curiga.

"Apakah kau mempunyai seorang kekasih?" Ibu kembali bertanya setelah mendapati gerikku berubah. Seperti maling ketahuan basah.

"Belum, Ibu. Aku belum mengajaknya untuk menjadi kekasihku."

"Siapa dia, Nak?" Wajah Ibu terlihat cemas.

"Rahayu, Ibu. Anak Datuk Amahorseja."

Ibu tampak terkejut mendengarnya, kulihat dari pantulan cermin di hadapanku. Aku belum berbalik untuk menatap wajahnya, aku tidak berani.

Ibu mendekatiku, semakin dekat hingga berdiri tepat di belakangku dan menepuk pelan bahuku.

"Nak, apakah dirimu yakin akan mendekati gadis itu?"

Aku bingung mendengar pertanyaan Ibu, ada apa? Apakah salah jika aku mendekati Rahayu?

"Kenapa, Ibu?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk berbalik, menatap jelas wajah cemas dan takut ibuku.

"Mereka orang tersohor, Nak. Berbeda dengan kita. Jika kau ingin meminangnya, apa yang akan kau berikan pada Datuk Amahorseja? Batu dan pasir? Atau ikan pamanmu?"

Aku sakit hati mendengar pertanyaan Ibu. Bagaimana bisa ibuku berkata seperti itu pada saat anaknya sedang bahagia?

"Aku akan bekerja, Ibu."

"Kerja apa, Nak? Sekarang kau hanya bekerja kepada pamanmu. Lalu kau meminjam uang Datuk Amahorseja untuk Ibu. Uang yang akan kau berikan kepadanya bukanlah mahar, tetapi hutangmu, Nak!"

Hatiku semakin sakit, memangnya kenapa jika aku bekerja membantu Paman? Toh, uangku halal. Aku kecewa dengan Ibu, dia mematahkan semangatku bertemu dengan Rahayu.

"Nak, dengarkanlah ibumu ini. Apa yang Ibu katakan adalah kebaikan untuk dirimu. Janganlah kau berani mendekati Rahayu. Kau tak pantas dengannya, Nak!"

"Aku dan Rahayu sudah berjanji akan ke pasar malam, Ibu!"

"Jangan, Dimas! Jauhilah dia. Ibu tak mau kau terluka nantinya. Dengarkan Ibu."

Aku menggeleng kuat. "Tidak! Aku akan menemui Rahayu!"

"Dimas! Jika benar kau berani membantah Ibu, maka putus lah hubungan kita. Pergilah, jangan kau kembali lagi ke rumah Ibu!"

BERPUTAR DALAM BELENGGU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang