Mia baru saja meninggalkan fakultasnya sembari mengetikkan pesan balasan pada salah satu room chat saat ponselnya tiba-tiba berdering. Caller id yang muncul berasal dari ayahnya. Mia menghela napas lalu menggeser ikon terima telepon di layar.
"Hola Daddy?" sapa Mia ceria sembari berjalan keluar dari area kampus lewat pintu tembusan menuju ke Indongaret untuk membeli beberapa keperluan sekalian sama stok camilan buat di kamar.
"Hola mi amor, udah pulang?"
"Udah, ini lagi jalan pulang."
"Udah makan siang?"
"Belum, Papa gimana?"
"Papa baru selesai makan siang. Eh iya, hari ini mau pergi nggak? Kalau mau pergi, nanti Papa minta Peter untuk jemput dan antar kamu pergi."
Kadang, Mia tuh bingung kenapa dia disuruh ngekos padahal rumahnya masih ada di satu kota yang sama. Masih di Bandung Bandung aja. Mana hampir tiap hari dia diantar jemput sama supir papanya kalau mau kemana-mana. Kayak... ah nggak tahu deh, nggak jelas. Buat apa ngekos kalau ceritanya begini, kan. Tentu akan lebih mudah jika dia tetap di rumah. Pak Peter alias supir keluarganya juga nggak perlu mondar-mandir.
Kadang-kadang, Mia merasa kalau dirinya sedang diusir secara halus oleh papanya. Tapi kalau memang iya diusir, kenapa masih diurusin ya, kan?
Atau jangan-jangan....
"Papa, Mia mau tanya sesuatu, tapi plis banget Papa jujur sama Mia."
"Apa?"
"Kenapa Papa nyuruh Mia ngekos kalau tiap hari masih diantar jemput Peter?" tanya Mia mengerutkan kening, meski papanya di seberang sana tidak akan pernah melihat.
"Hng... biar kamu mandiri, punya teman banyak, nggak seperti waktu kamu sekolah kemarin. Bukannya koleksi teman malah koleksi musuh."
"Beneran itu alasannya?" Mia skeptis.
"Terus menurut kamu alasannya apa?"
"Papa nggak tinggal bareng sama pacar Papa di rumah kita, kan?"
Di seberang sana, Papa yang lagi minum langsung terbatuk mendengar pertanyaan yang lebih terdengar seperti tuduhan.
"Pikiran kamu aneh-aneh aja!" Papa menyergah. "Papa nggak tinggal bareng sama pacar Papa, Papa nggak punya pacar! Kamu pikir Papa punya waktu buat pacaran?"
Mia tersenyum lega. "Bagus kalau gitu, Mia nggak mau punya mama tiri, ya!"
"Ya ya ya, terserah kamu. Papa tutup teleponnya. Jangan lupa kabarin kalau kamu mau pergi, biar diantar Peter aja."
"Oke. Chau Papito."
"Hm, chau."
Mia lanjut belanja setelah telepon basa-basi itu diakhiri. Tidak butuh waktu lama sampai dua keranjang di tangannya penuh. Dia langsung pergi ke kasir dan menghitung jumlah yang harus dia bayar untuk semua belanjaan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH KEDUA (Migrasi ke Fizzo)
Novela JuvenilCerita ini bukan cerita best friend goals yang bisa bikin orang iri atau romansanya bikin gigit jari. Ini hanya cerita tentang empat belas orang yang tinggal dalam satu atap. Orang asing yang berangsur menjadi teman lalu menjadi keluarga. Kompak dal...