Jarum pendek jam dinding hampir terparkir sempurna di angka delapan. Sembari tangan kiriku membolak-balik dua buah chicken katsu di dalam teflon besar, tubuhku menari kecil, mengikuti alunan lagu yang aku nyanyikan seorang diri. Desisan gelembung minyak penggorengan seakan mengiringi rima nyanyianku, membuatku semakin bersemangat menyiapkan bekal makanan untuk Kak Seonghwa yang akan aku antar sebentar lagi.
Pukul delapan malam, normalnya orang lain akan bertanya-tanya siapakah sosok manusia yang makan malam selarut ini. Apabila ditambah estimasi lama perjalanan menuju rumah sakit, ditambah dengan petualangan menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke ruangan Kak Seonghwa, bisa jadi makanan ini sampai ketika jam hampir menunjukan angka sembilan.
Namun, siapa peduli, aku lebih tahu keseharian pria itu di rumah sakit. Barangkali, ia tidak akan keluar dari ruang operasi sampai pukul sepuluh atau sebelas malam. Setidaknya, ada makanan rumahan yang menyambut pria itu setelah hiruk pikuk kerja kerasnya di ruang operasi.
"Rachel, masak apa?"
Alunan suara berat, yang sebenarnya terdengar sangat familier, tiba-tiba mengetuk gendang telingaku. Mungkin, lebih tepatnya "menendang" gendang telingaku, membuat tubuhku sedikit melonjak saking kagetnya.
"Astaga, kaget!" pekikku. Bayangan rasa malu karena ada orang lain yang melihat tingkah laku gilaku di dapur bahkan segera tenggelam, digantikan oleh degup jantungku yang memompa darah dengan cepat karena terkejut.
Sosok tinggi berdiri membelakangi lampu dapur. Cahaya malam membayangi wajah pria itu, tetapi tetap saja, tak ada malam pun yang bisa menyembunyikan guratan wajah sempurna, bak dipahat, milik Kak Seonghwa.
"Masak apa?" ulang pria itu.
"Chicken katsu," jawabku. "Ini baru jam 8 malem, kok Kakak udah pulang?"
Dahi pria itu berkerut, "Loh, kamu nggak seneng kah kalo saya pulang? Lagian, telat banget kamu makan malam jam segini."
Ya... aku, sih, senang-senang saja kalau ada bersama Kak Seonghwa. Kurasa tidak perlu ditanya atau diperjelas lagi.
"Aku mah udah makan, ini lagi nyiapin bekal buat Kakak," mataku mengerling pada kotak makan yang sudah kuisi lengkap, kecuali lauknya, "kirain Kakak nggak pulang lagi; gawat darurat tadi sore."
"Di mana-mana orang bikin bekal itu menyesuaikan jam makan," oceh pria itu seperti orang yang tidak tau berterima kasih. "Saya diusir dari ruang operasi, jam kerja saya sudah penuh minggu ini."
Aku menolehkan kepalaku cepat, menatap pria itu dengan dahi berkerut, tidak percaya. "Hah? Seorang Park Seonghwa diusir dari rumah sakit?? Kenapa???"
"Kan tadi sudah saya jelaskan, Rachel, jam kerja saya sudah terpakai semuanya,"
"Maksudnya, kenapa baru sekarang,"
Tawaku meledak melihat ekspresi wajah Kak Seonghwa yang langsung berubah, segera setelah aku membalas ucapannya.
"Jangan kira saya maniak. Rasakan sendiri setelah kamu resmi jadi dokter," sungut pria itu.
Tangannya meraih kotak bekal yang aku persiapkan. Tanpa melepaskan kontak mata dari kotak makan, yang mungkin dalam pikiran Kak Seonghwa kotak makan itu tiba-tiba punya kaki dan akan loncat begitu saja dari jendela dapur apabila tidak ia pelototi, pria itu melanjutkan, "Saya langsung makan dari sini aja, ya?"
"Iya—aah!"
Spatula di wajan penggorengan tidak sengaja "terbang" ketika aku mengalihkan fokusku pada panci berisi kuah kari di sisi kiri ku. Siku kananku tidak sengaja menyenggol gagang spatula ketika aku berbalik, menyebabkan goresan kecoklatan di lengan kananku. Wajan penggorengan sempat bergoyang, tetapi untungnya ia tidak oleng juga—atau aku harus rehat dari kuliahku selama satu minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
EMPTY SPACE ─ Seonghwa ATEEZ
Fanfiction[ ON HOLD ] Dokter Seonghwa itu terlalu kaku, aku tidak akan heran jika ia akan "sendirian" sepanjang hidupnya. - side story 'Rewrite the Stars'. Originally written by Penguanlin, 2020.