"Chel,"
"Racheeeel!!"
ctak!
Sebuah pulpen menghantam tepat di pelipisku, dengan bonus kemerahan di sana. Kutolehkan kepalaku ke kiri. Di kursinya, Jeanna menatapku dengan tatapan menghakimi dan kedua tangan yang tertekuk di depan dada.
"Kamu kenapa sih, bolak-balik dipanggil tapi gak nyahut?!" omel Jeanna.
Aku memutar bola mataku malas, "Sekali lagi ngelempar pulpen, aku patahin."
"Ck," Jeanna berdecak, "sepanjang kelas tadi, kamu keliatan kesel banget. Kenapa sih?"
Kukerutkan dahiku. "Biasa aja? Perasaan kamu doang kali," kilahku. "Lagian ngapain juga kamu justru perhatiin aku? Bukannya ngeliat ke dosen."
"Justru itu!!" seru Jeanna sambil menjentikkan jari, "Kenapa kamu se-gak suka itu sama kelas hari ini, cuma karena ada kelas yang diisi sama dosen tamu? Mana dosennya kakak kamu sendiri."
"Terus anehnya di mana?" balasku tak acuh.
"Ya... gak tau?" ucap Jeanna. Gadis itu kembali duduk di bangkunya dengan tenang, "Padahal tadi siang kamu biasa-biasa aja, tapi sejak kakak kamu dateng, kamu jadi lesu. Lagi berantem, ya?"
"Racheeeel!!!"
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Jeanna, hampir sepertiga perempuan di kelas bergerombol di sekitar mejaku. Mereka menyodorkan ponselnya ke arahku, membuatku kian mengerutkan dahi.
"Minta nomer kakak kamu dong? Buat keperluan kuliah nih,"
Ah, sudah kutebak. Kukira sudah cukup mereka "cari muka" di kelas Kak Seonghwa, ternyata masih ingin lebih juga.
"Bagi dong, Chel!"
Salah satu temanku mengangguk setuju, "Iya, aku mau tanya materi, hehe."
"Buat tanya materi, apa buat flirting?" tanya Jeanna sinis.
Ucapan Jeanna membuatku memalingkan wajah menatap gadis itu. Masih dalam posisi melipat tangan, gadis itu melayangkan tatapan tajam pada gerombolan mahasiswi di sekitar kami.
"Ck, gak ada urusannya sama kamu, ya!" balas salah satu teman kami dengan nada ketus. "Ayolah, Chel, setia kawan."
"Sejak kapan Rachel jadi kawan kalian?" Jeanna terus membalas.
Senyum di wajah mahasiswi itu meluntur, lantas mengacungkan jari telunjuknya pada Jeanna. "Kamu ada masalah apa sih? Kita minta baik-baik ke Rachel, bukan ke kamu," ketusnya.
"Ya kalau Rachel gak mau ngasih, harusnya kamu kan gak maksa??" sahut Jeanna.
Selanjutnya, gerombolan mahasiswi itu seakan saling beradu mulut melawan Jeanna yang sialnya juga sama saja tidak mau diam. Sejujurnya aku perlu banyak berterima kasih pada Jeanna karena aku tidak perlu membuang-buang energiku untuk menyahuti teman-teman kami. Jeanna itu benar-benar... seperti tidak memiliki rasa takut.
"Ck, lagian kalo Dokter Seonghwa mau ngasih kontaknya, pasti tadi udah dikasih," Jeanna menoleh ke arahku, "Kamu gak boleh ngasih nomer sembarangan kan, Chel?"
Aku menggebrak mejaku, muak. "Nomernya Kak Seonghwa itu privasi. Minggir, aku mau pulang," ucapku dengan nada dingin.
Kuraih tasku dan berjalan begitu saja meninggalkan kelas. Langkah kakiku menghentak lantai dengan keras, buku-buku jariku mengepal kuat. Aku marah sekali, entah mengapa aku bisa semarah ini. Rasanya aku ingin membakar semua hal yang ada di depan mataku, saking emosinya.
"Rachel,"
Langkahku tersentak karena tanganku diraih oleh seseorang, menarikku ke tepi jalan. Kak Seonghwa, mengapa ia bisa ada di sini?
"Ck, Kakak ngapain sih di sini? Katanya ada kerjaan di rumah sakit??" tanyaku dengan nada tinggi, terkesan seperti mengomel.
Dahi Kak Seonghwa berkerut mendengar pertanyaanku yang begitu ketus. "Kamu marah sama saya?" tanyanya.
Menurutmu saja, bodoh. Ah, tidak, Kak Seonghwa tidak bodoh. Ia tidak mungkin bekerja di rumah sakit sebagus itu apabila ia bodoh.
"Menurut Kakak aja!" ketusku, kemudian mendahului Kak Seonghwa masuk ke dalam mobil.
Kutarik sabuk pengaman dan memasangnya dengan penuh emosi, lantas kutekuk kedua tanganku di depan dada. Mataku benar-benar memicing tajam ke arah depan, sama sekali tidak bergerak meskipun Kak Seonghwa sudah duduk di kursi sebelahku.
"Kamu kenapa sih?" tanya Kak Seonghwa sambil memasang sabuk pengaman. "Kamu marah sama saya? Saya ada salah? Atau kamu marah karena tadi saya gak nunjuk kamu?"
Keheningan panjang kembali muncul di antara kami. Selama itu pula, Kak Seonghwa terus menatapku, tetapi aku tetap tidak bergeming. Teruskan saja, Kak, kau ini memang tidak punya hati!!
Pria itu menghela napas, "Ya udah, gak apa-apa kalau kamu marah sama saya. Kalau kamu mau, nanti kasih tau di mana salahnya saya, biar gak saya ulangi lagi."
Kak Seonghwa pun mengubah tuas transmisi dan mulai menjalankan mobilnya, keluar dari area kampus. Di perjalanan, aku memalingkan wajahku ke arah jalan raya, tidak sedikit pun menatap pria itu. Kak Seonghwa pun juga cukup kooperatif, ia terdiam seribu bahasa selama berkendara.
Aku marah sekali pada pria itu, tetapi aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku bisa semarah ini. Kupikir-pikir aneh sekali apabila aku marah hanya karena pria itu tidak sama sekali melirikku ketika kelas tadi. Hey, aku pun berusaha keras menjadi mahasiswi yang aktif, tetapi mengapa ia hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak berguna, hanya karena teman-temanku itu cantik? Apakah eksistensiku terlampau kabur di matanya?!!
"Kamu mau beli sesuatu, gak? Boba, martabak--apa pun, terserah kamu," ucap Kak Seonghwa.
Ah, pria itu masih berusaha melunakkanku, ternyata. Tanpa memalingkan wajah, aku menggelengkan kepalaku. Diamlah, Kak Seonghwa, aku tidak ingin mendengar suaramu!!!
Samar-samar, kudengar Kak Seonghwa kembali menghela napas. "Rachel, marahnya jangan lama-lama, ya?"
Ck, mana bisa. Aku akan marah seharian. Lihat saja, Kak Seonghwa!!
KAMU SEDANG MEMBACA
EMPTY SPACE ─ Seonghwa ATEEZ
Fanfiction[ ON HOLD ] Dokter Seonghwa itu terlalu kaku, aku tidak akan heran jika ia akan "sendirian" sepanjang hidupnya. - side story 'Rewrite the Stars'. Originally written by Penguanlin, 2020.