15. Salah Kamar

33 4 0
                                    


Pesawat Lily dan Trevor tiba di Bandara Surabaya sekitar jam 10 pagi, dan mobil jemputan pun sudah stand by langsung di landasan, tak jauh dari posisi pesawat pribadi milik Trevor Bradwell landing.

Boss dan sekretarisnya itu pun disambut oleh seorang koordinator acara yang bernama Sam, seorang lelaki ramah yang penuh senyum.

Lily banyak berbincang dengan Sam di dalam mobil, sengaja ingin mengabaikan Trevor. Ia masih kesal karena perkataan bosnya itu yang suka nyerempet-nyerempet kaya truk pantura.

Yang bilang dinas seumur hiduplah, atau Lily tak sebanding dengan wanita lainlah... ish.

Entah apa maksud Pak Trevor mengatakan kalimat-kalimat rayuan seperti itu padanya, namun Lily sepertinya harus mulai menerapkan batasan-batasan jika tidak menginginkan yang kemarin itu terulang kembali.

Jika terjadi karena sama-sama mabuk seperti malam laknat itu, mungkin saja masih ada kata maaf untuknya.

Tapi kemarin itu, masalahnya baik Lily maupun Trevor sama sekali tidak mabuk. Meskipun mereka berdua tak sampai khilaf dan hanya masih sebatas ciuman, tapi tetap saja itu salah. Sangat salah.

Lily sadar bahwa dirinya telah terlalu jauh tercebur dalam kesalahan ini, dan ia tahu bahwa ini semua akan berakibat fatal untuk pertunangannya dengan Rama, jika tidak segera ia akhiri.

Dan ngomong-ngomong soal Rama...

Lily benar-benar bingung kenapa tunangannya itu tidak memberi kabar sama sekali sejak kemarin. Rama sedang dinas ke Manado, tapi Lily hanya sempat satu kali bertelepon sebelum keberangkatan lelaki itu.

Lily terus menunggu kabar yang tak kunjung datang. Ia bahkan sempat khawatir dan berpikir yang tidak-tidak, sampai-sampai Lily mengecek dengan menelepon pihak bandara, bertanya apakah pesawat yang ditumpangi Rama telah mendarat dengan selamat di Manado.

Dan syukurlah, ternyata pikiran buruknya tidak terbukti sama sekali karena pesawat itu telah sampai dengan selamat di Manado.

Tapi kenapa Rama masih saja tidak menghubunginya? Sudah puluhan kali Lily mencoba menelepon tunangannya itu, namun tak juga dapat tersambung dengannya.

"Kamu lagi pusing? Sakit? Atau apa?"

Lily mengangkat wajahnya yang semula menunduk menatap ponselnya, hingga kini ia pun beradu tatap dengan manik biru berkilau Trevor dari balik lensa kacamatanya.

Saat ini mereka telah sampai di salah satu hotel milik Trevor di kota Surabaya, dan sedang berada di dalam lift VIP menuju lantai teratas, dimana kamar Presidential Suite untuk Trevor dan Juunior Suite untuk Lily berada.

"Eh? Nggak sih, Pak. Saya baik-baik saja kok," sanggah gadis itu untuk menjawab pertanyaan tiba-tiba dari bosnya barusan.

Trevor yang tidak serta-merta percaya begitu saja, mengernyitkan keningnya tanpa lepas menatap wajah Lily yang sejak tadi lebih banyak diam. Lelaki itu pun kemudian mengangkat satu tangannya dan menempelkan bagian punggungnya di kening Lily, seperti seseorang yang sedang mengecek suhu tubuh.

"Hm. Normal sih sepertinya ya," cetus Trevor, yang kemudian dengan isengnya malah beralih memeriksa suhu pipi Lily.

"Nah, pipi kamu nih yang agak hangat. Atau jangan-jangan kamu jadi blushing gara-gara saya sentuh?" Godanya dengan senyum yang terkulum.

"Nggak! Siapa bilang saya blushing?" sergah Lily sembari mendelik kesal kepada bosnya.

"Iya juga nggak apa-apa, Lily. Mau saya pegang lagi nggak?"

"Pak!!" Pekik Lily gusar karena sikap bosnya yang makin ke sini makin ke sana.

"Ya, Lily?" Senyum Trevor yang bertambah lebar serta manik biru safirnya yang semakin bercahaya, entah kenapa malah mengingatkan Lily pada si tuyul tengil Ethan.

Lily pun memejamkan kedua matanya rapat-rapat, seraya dalam hati menghitung dari angka 1 hingga 327637 untuk meredakan amarahnya. Nggaak, canda. Cuma sampai 10 kok. Entar kelamaan durasi bacanya.

Tapi boro-boro amarahnya mereda. Yang ada malah perasaannya justru semakin kacau, karena tiba-tiba saja Lily merasakan sesuatu yang lembut dan lembab telah menyentuh bibirnya!

Meskipun hanya sekilas, tapi Lily sangat yakin jika tadi itu adalah... Pak Trevor yang menciummnya.

Lily pun sontak membuka kembali kedua maniknya, yang langsung bersitatap dengan wajah lelaki yang masih tersenyum di depannya.

"Pak Trevor, yang barusan itu--"

TING!

Sayangnya, perkataan Lily malah terpotong oleh suara denting pelan lift. Yang artinya, mereka telah sampai di lantai tujuan. Pintu yang kemudian terbuka membuat Lily tak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Trevor keluar dari lift.

"Pak Trevor," panggil Lily.

Trevor pun menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang dimana sekretarisnya itu berada.

"Saya minta, Pak Trevor tidak mengulangi apa yang terjadi di lift tadi," ucap Lily.

"Memangnya saya melakukan apa?" Tanya lelaki itu dengan ekspresi datar dan alis lebatnya yang terangkat naik.

Lily menghela napas pelan, berusaha menyabarkan diri menghadapi sikap bosnya yang ternyata kekanakkan mirip putranya.

"Apa perlu saya minta rekaman CCTV sebagai bukti??" Ketus gadis itu.

"Percuma, Lily. Sebelum kamu memintanya, rekaman itu pasti sudah terhapus. Hanya butuh satu kali telepon dari saya untuk melakukannya," tukas lelaki itu dengan nada santai, membuat Lily sampai kehabisan kata-kata selama beberapa detik untuk menjawab ucapan Trevor.

"Ya, pokoknya tolong jangan lakukan lagi, Pak! Ini tidak pantas. Saya adalah bawahan Pak Trevor, dan Bapak atasan saya. Saya juga sudah memiliki tunangan dan akan segera menikah! Sekian!"

Setelah puas mengatakan apa yang ingin ia katakan, Lily pun segera melangkah dengan kaki yang sedikit menghentak lantai untuk menjauh dari bosnya.

"Lily, tunggu. Lily!" Trevor pun mempercepat langkah untuk menggapai lengan Lily yang terlihat sama sekali tidak menggubris panggilannya.

"Lepas, Pak! Mulai sekarang, Bapak dilarang sentuh saya. Dan juga jangan ikuti saya!" Salak Lily galak, yang dibarengi dengan pelototan dari manik beningnya.

"Tapi saya cuma mau bilang kalau kamu berjalan ke arah yang salah, Lily. Kamar kamu Juniior Suite, kan? Ini adalah arah menuju kamar Presidential Suite, kamar saya," terang lelaki berkaca mata itu.

Hahh???

Lily pun sontak celingukan untuk mencari petunjuk arah kamar yang biasanya tertera di dinding.

Dan... Pak Trevor benar. Ia memang salah arah.

Oh Tuhan... rasanya Lily ingin mengecil jadi seukuran mikroba saking malunya.

"Tapi saya nggak masalah juga sih kalau kamu mau ikut ke kamar Presidential Suite. Justru senang malah," tambah Trevor lagi sembari tersenyum jahil, yang lagi-lagi mengingatkan Lily pada Ethan.

Lily mendehem pelan. "Saya permisi dulu mau ke kamar, Pak," ucapnya formal untuk menutupi rasa malunya.

"Baik, kamu pasti lelah dan mau istirahat. Oh, satu lagi. Besok setelah meeting, jadwal saya free tidak ada agenda lain lagi kan?"

Lily hanya mengangguk pasti sebagai jawaban dari pertanyaan bosnya itu. Sebagai sekretaris selama dua tahun, ia sudah terbiasa menghapal jadwal harian bosnya itu di luar kepala.

"Good. Kalau begitu, besok kamu bisa jalan ke arah sini lagi. Pura-pura saja salah kamar seperti tadi, saya akan mengerti kok," celetuk Trevor dengan wajah yang terlihat sekali sedang menahan tawa.

Lelaki itu kemudian melangkah pergi meninggalkan Lily begitu saja, yang sekuat tenaga menahan emosi yang membuatnya ingin menjerit dan mengacak-acak rambutnya frustasi.

***





















Sleeping With Mr. BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang