Kaaf mengetukkan jari-jarinya di meja jati coklat dalam suatu ruangan dengan dekorasi yang memancarkan kedinginan seorang laki-laki. Sedari tadi bibirnya tak henti menggerutu menilik penampilannya yang jauh sekali dari jati dirinya. Setelan jas hitam beserta celana melekat di tubuh tegapnya, dilengkapi juga dengan dasi yang tergantung dan juga kemeja putih sebagai lapisan.
"Maaf Kaaf... Papa baru aja meeting sama client. Kamu udah lama?" Tanya pria paruh baya yang tak lain adalah Papa dari Kaaf memasuki ruangan. Kaaf memandang malas kearahnya dan bangkit berdiri dengan angkuh mendekati sang Papa.
"Papa apa-apaan sih nyuruh Kak Yura segala nyiapin baju pelayan ini buat Kaaf pake?" Gerutu Kaaf menyuarakan ketidaksukaannya.
"Maksud kamu apa? Mau make jaket sama jeans kamu yang nggak jelas itu? Trus dimana martabat kamu sebagai calon pemimpin?" Sang papa menepuk pelan pundak Kaaf lalu duduk dikursi kebangsaannya.
"Paling enggak, itu lebih nyaman daripada baju aneh kayak gini." kekeuh Kaaf mempertahankan pendapatnya. Ia berjalan kembali dan menghempaskan pantatnya dikursi empuk yang terdapat pada sisi kiri ruangan.
"Yaudahlah. Kemana aja kamu dua minggu ini?" Tanya Fachri, Papa Kaaf memandang sang anak yang kini menjadi harapan satu-satunya.
"Udah aku bilang Papa nggak perlu tau. Sekarang cepet kasih tau apa yang harus Kaaf pelajarin?" Fachri tersenyum singkat menanggapi sikap acuh tak acuh dari Kaaf yang baru Ia sadari ketika sang anak sulung pergi untuk selamanya sejak 5 tahun lalu. Karena dunianya yang sibuk mengurusi pekerjaan dan sering pulang hingga larut, maka tumbuh kembang anak-anaknya pun hanya sekilas Ia perhatikan.
"Kamu bisa belajar dari kak Yura, Kaaf. Dan Papa juga akan minta orang kepercayaan Papa buat ngajarin kamu tentang seluk beluk perusahaan ini." kaaf mengangguk kecil di kursinya.
"Jadi hari ini nggak ada yang perlu di kerjain dulu kan? Kaaf ada janji bareng anak band, habis itu clubing bareng anak-anak malam ini."
"Kaaf, apa nggak bisa kamu tinggalin kebiasaan buruk kamu itu nak? Belajarlah untuk jadi pribadi yang lebih baik." Pinta Fachri yang dibalas Kaaf dengan tawa mengejek.
"Nggak inget perjanjian kita? Dilarang ngengganggu privasi satu sama lain. Oke kalo nggak ada yang perlu lagi, Kaaf pamit." Kaaf bangkit berdiri sambil mengambil sekotak rokok yang tersimpan di saku jasnya. Ia melangkah keluar lalu membanting kencang pintu putih ruangan Fachri sampai-sampai membuat sekretaris Fachri yang ada di depan ruangan pria itu terjengkit kaget.
"Nggak usah lebay lo! By the way, itu lipstik lo baru yaaaa? Pasti entar sore udah acak-acakan kan di mainin bokap gue?" Ujar Kaaf membuat wanita berusia sekitar 30 tahunan itu memendam rasa kesal kepadanya. Mungkin jika Kaaf bukanlah anak dari atasannya, dapat dipastikan heels setinggi 7cm yang kini Ia kenakan akan sukses memberi pelajaran kepada mulut pedas Kaaf.
Kaaf melangkah keluar dari Alkatiri Company diiringi pandangan kagum dari beberapa pegawai wanita yang memang terpesona akan ketampanan Kaaf dan beberapa dari mereka pun baru mengetahui kalau Kaaf juga anak pemilik perusahaan, karena dulu yang sering berkunjung ke perusahaan yang membidangi perhotelan itu adalah Biyan, kakak Kaaf yang kini telah tiada.
Ketampanan mereka memang berbeda. Jika Biyan memiliki wajah manis dengan lesung pipi yang muncul ketika Ia tersenyum, Kaaf adalah pria dengan tatapan tajam tanpa riak kebahagiaan di wajahnya yang dingin.
Fachri memandang nanar kepergian mobil hitam milik Kaaf yang meninggalkan parkiran khusus pelataran perusahaannya, tidak menyangka bahwa ketidaksadarannya menyikapi Biyan dan Kaaf dengan berbeda, justru menimbulkan sosok lawan dalam diri Kaaf padanya.
Dahulu yang ada dipandangannya adalah sosok Biyan karena anak laki-laki tertuanya itu adalah anak yang penurut, baik, dan berprestasi, sehingga apapun keinginan yang diucapkan Biyan sebisa mungkin Fachri menurutinya. Tidak seperti Kaaf yang justru adalah sosok anak pembangkang, urakan dan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Bayaran
FanfictionBekerja menjadi pemuas nafsu para pria berhidung belang bukanlah hal yang diinginkan oleh Alyssa Mandaya. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menjalankan perannya. Menjalani dunia yang penuh dengan kegelapan dan begitu suram. Bahkan sebagai wanit...