Kamar 1010

10.6K 369 37
                                        

"Iyaaa Pa. Kaaf balik kok besok, tenang aja. Kaaf juga nggak bakal lari dari tangung jawab itu." Kaaf meneguk sekaleng bir beralkohol rendah ketika lawan bicaranya di telepon sedang mengeluarkan suara.

"Papa udah janji buat nggak masuk daerah privasi Kaaf, kita cuma sebatas ayah dan anak yang saling menjalankan kewajiban. Jadi apapun yang Kaaf lakuin disini, Papa nggak perlu tau atau Kaaf bakal bener-bener ngelanjutin cita-cita Kaaf." Ancam Kaaf kepada si penelepon.

"Terserah Papa, Kaaf nggak peduli. Yang jelas Kaaf balik besok." Kaaf menekan ikon merah pada layar datar handphone-nya dan membanting benda kecil itu ke ranjang.

"Ahhh, Biyan brengsek! Kenapa pas udah matipun lo tetep aja ninggalin masalah ke gue!" Geram Kaaf meremukkan kaleng birnya hingga isinya berceceran di lantai keramik yang dipijaknya. Ia membanting kasar kaleng malang itu sehingga timbul suara dentingan bising memekakan telingan Tristan yang kini sedang duduk diatas kloset melakukan ritual paginya, buang air besar!

"Ehhh Kaaf! Lo fikir penghuni ruangan ini cuma lo sama angin? E'e gue jadi susah keluar nih gara-gara lo triak, bangke!" Seru Tristan keras namun tak dibalas oleh Kaaf yang kini menghempaskan dirinya ke sofa sambil mengacak rambutnya frustasi.

Kaaf adalah lulusan salah satu universitas dengan jurusan yang masih termasuk dalam seni yakni musik. Kecintaannya dengan musik sudah timbul sejak dirinya masih duduk di bangku SD kelas 2 karena jari-jari mungilnya yang bisa bermain dengan lincah diatas tuts piano yang dahulu terletak di ruang keluarga rumahnya berkat melihat sang Ibu yang setiap hari memainkan benda itu.

Maka dari itu, Kaaf berkeinginan untuk menekuni bidang itu terlebih musik pun sudah Ia anggap sebagai nafas hidup selain sex. Namun angannya untuk menjadi expert dalam bidang musik harus dikuburnya dalam-dalam sejak kematian saudara laki-lakinya akibat kecelakaan yang menimpa.

Sejak saat itu, Kaaf diharuskan untuk menekuni dunia bisnis demi dapat menjalankan perusahaan sang ayah yang bergerak dibidang perhotelan karena tinggal ialah satu-satunya penerus.

Kaaf awalnya menolak dengan keras, namun akhirnya Ia terpaksa menerima karna sang ayah yang awalnya enggan untuk mendukung Kaaf dibidang musik akhirnya merelakan sang putra satu-satunya menggeluti dunia itu asal tetap belajar tentang cara memimpin suatu perusahaan dan berbisnis.

"Kenapa Papa lo? Nyuruh balik lagi?" Tnya Tristan sambil menaikan sleting celananya ketika Ia keluar dari kamar mandi.

"Nggak apapa. Gue cabut dulu. Kalo ada apa-apa, lo tau harus nyari gue kemana." Ujar Kaaf bangkit dari duduknya dan meraih kunci mobil yang teronggok di meja kecil dekat sofa yang ada.

Tristan memandang kepergian Kaaf, sahabat yang Ia kenal sejak kelas 2 SMP saat bertemu di tempat perkumpulan anak muda ketika mereka sama-sama membolos dari sekolah masing-masing. Intensitas 'cabut' yang membuat mereka sering bertemu kembali untuk sekedar melepas penat masing-masing dan saling bertukar cerita, lama kelamaan mereka berdua tumbuh menjadi sepasang sahabat hingga mereka memilih untuk bersekolah di tempat yang sama ketika SMA dan lulus dengan predikat 'kesayangan guru BP' karna keonaran yang sering mereka lakukan, dan persahabatan itu terjalin hingga saat ini.

"Kaaf... Kaaf..." Tristan menggelengkan kepala lemah sambil berdesis ketika pintu dibanting keras oleh Kaaf. Besahabat dengan Kaaf selama hampir 9 tahun membuat Tristan paham sekali akan segala permasalahan yang dialami Kaaf alami dihidupnya. Namun menurutnya Kaaf lah yang justru lebih beruntung karna masih dilimpahi kasih sayang orangtua. Tidak seperti dirinya.

***

Alyssa menundukkan wajah ketika pria yang sempat Ia kira 'gay' atau 'impoten' kini duduk dengan menyilangkan kaki dan dada yang juga telanjang sehingga ukiran nama didada pria itu terlihat jelas dimatanya.

Wanita BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang