Asha menatap Candra dengan tatapan bertanya-tanya. Sedari tadi ia mengajarkan Candra materi yang kemarin diajarkan, tapi fokus Candra seperti tidak berada pada tempatnya. Pemuda itu seperti hanya mendengarkan penjelasannya dan lenyap begitu saja. Seperti masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Asha beberapa kali menegur dan meminta agar Candra fokus yang mana diiyakan oleh pemuda itu, tapi selalu berakhir dengan pemuda itu kehilangan fokusnya. Hal ini terjadi terus-menerus sampai Asha sendiri sudah kesal karena ia sudah lelah menjelaskannya berulang kali, tapi Candra tetap tak mendengarkan.
Gadis itu menutup buku pelajaran mereka dan menatap Candra dengan tatapan tajam. Candra berusaha mengalihkan pandangannya kemana saja, kecuali menatap mata Asha.
“Lo kenapa? Ngomong sama gue,” ucap Asha. Nada suaranya terlihat begitu tegas tanpa ingin dibantah. Ini pertama kalinya Candra mendengar Asha menggunakan nada bicara yang seperti itu.
“Enggak ada apa-apa,” balas Candra, tapi ia tetap tak menatap Asha. Gadis itu kesal. Ia tarik wajah Candra agar menatapnya, tepat di matanya.
“Jangan bohong,” ucap Asha. Kali ini tatapan matanya meneduh seolah memberitahu Candra bahwa pemuda itu bisa memberitahu apa saja kepadanya.
Candra yang tadinya tercekat langsung mengulas senyum. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Asha dan tersenyum lebar. “Khawatir, ya?” tanyanya menggoda.
Asha tak membalas lelucon itu. Ia masih menatap Candra dengan tatapan serius. Candra yang melihat itu jelas gugup. Ia tak mengira kalau Asha akan serius seperti ini sekarang.
“Maaf deh. Gue lagi banyak pikiran aja,” ucapnya sambil melepaskan tangan Asha dari wajahnya. Ia raih bukunya yang tadi ditutup oleh Asha dan mulai membacanya. Asha tahu kalau Candra hanya mencoba membacanya tanpa memahami apa yang ia baca.
“Iya.”
Candra menoleh. Ia menautkan alisnya seolah bertanya apa yang diiyakan oleh Asha. Gadis itu menatapnya dengan tatapan serius. “Gue khawatir sama lo.” Asha menjelaskan apa yang ia maksud.
Candra merasa tersentuh. Asha mungkin adalah orang pertama yang khawatir padanya selain Mirza dan kedua sahabatnya. Berbeda dengan Mirza dan kedua sahabatnya, Asha adalah orang yang cukup peka. Gadis itu seperti bisa mengerti kalau Candra sedang dalam suasana hati yang buruk tanpa harus Candra ucapkan atau tak peduli seberapa keras Candra menyembunyikannya, Asha akan tahu itu segera.
Candra pun menutup bukunya dan bertanya dengan ragu, “kalau ada yang ngelukain temen lo, apa yang akan lo lakuin?”
Asha menautkan alisnya, tapi tak bertanya lebih jauh. Ia meraih kotak pensilnya sambil berkata, “gue jelas bakal kesel. Kalo gue bisa, mungkin gue pengen ngebales gimana dia ngelukain temen gue. Kalau perlu dua kali lipat dari itu.”
Candra tak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah para murid yang duduk di beberapa meja di depan mereka. Saat ini keduanya tidak berada di kelas, melainkan di perpustakaan. Keduanya duduk di meja paling ujung yang lumayan jarang didatangi murid karena lumayan silau sebab dekat dengan jendela.
“Ya, sayangnya gue enggak bisa ngelakuin itu,” sambung Asha lagi. Candra lantas menoleh ke arahnya. “Kenapa?” tanyanya.
Asha menoleh dan menjawab, “lo nanya kenapa? Ngelukain seseorang itu suatu tindak kejahatan. Kita mungkin bisa kesel, tapi kita enggak boleh ngebales kejahatan itu dengan kejahatan juga. Itulah kenapa polisi ada, 'kan? Mereka bertugas menegakkan keadilan.”
“Lalu bagaimana dengan keadilan yang dibeli dengan uang? Gimana kalau seandainya kita nyerahin pelaku ke pihak kepolisian dan pada akhirnya dia bebas karena dia ngebayar pihak polisi?” balas Candra.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Did We Make It?
Teen Fiction[ B E L U M R E V I S I ] Candra yang merasa bahwa semesta begitu kejam kepadanya dipertemukan dengan Asha yang mencoba melawan dunia. Rapuh dan rusak. Keduanya tanpa sadar saling melengkapi dan menghadapi segala hal yang menerpa hubungan mereka. Ca...