Dicky mengembuskan napas berat dan menatap ke arah meja di mana Asha sedang mengemas buku-bukunya dengan tatapan lesu. Usai membicarakan masalah rencana membuat Naomi mabuk tadi dengan Elang dan Haidar, tiba-tiba saja Dicky teringat akan Asha. Gadis itu sejak kecelakaan waktu itu benar-benar seperti menyendiri dan juga tidak seperti biasanya.
“Dicky?”
Dicky pun menoleh dan mengulas senyum tipis kepada Naomi yang menatapnya dengan tatapan penuh binar. Dicky terpaksa.
“Jadi, kapan lo mau ajak gue jalan-jalan?” tanya Naomi tidak sabar.
Dicky terdiam sebelum akhirnya memilih untuk melirik ke arah Elang dan Haidar yang malah ribut sendiri. Dicky ingin sekali mengumpati keduanya karena tidak membantunya mengatasi hal ini, tapi ia tidak bisa membuat Naomi curiga. Ia perlu menyelesaikan semua ini agar Candra tidak lagi berada dalam bahaya.
Dicky tersenyum ke arah Naomi dan menjawab, “malam ini gimana? Nanti gue jemput. Lo nanti kirim aja alamat rumah lo. Jam setengah tujuh gimana?”
Naomi memekik senang. “Oke! Nanti gue kirim alamatnya dan gue mau siap-siap dulu. Gue bakal pastiin lo enggak akan malu jalan sama gue malam ini!”
Dicky terkekeh geli dan menjawab, “lo gini aja cantik kok, Nao. Mau dibikin cantik gimana lagi?”
Kata-kata itu membuat wajah Naomi bersemu merah, seolah-olah mawar merah merekah di pipinya. Dia terkejut, tapi juga merasa senang mendengar pujian dari Dicky yang baru kali ini memujinya cantik. Naomi tersenyum malu dan mengucapkan terima kasih kepada Dicky.
“Kalau gitu ... gue duluan, ya? Sampe ketemu malam ini!” Naomi pun meraih tasnya dan berlari meninggalkan kelas yang memang telah memasuki jam pulang.
Dicky yang melihat itu lantas mengembuskan napas lega. Ia kembali mengemas buku-bukunya sampai akhir ia melihat Asha hendak melewatinya. Dicky segera menyapa gadis itu. “Sha?”
Asha berhenti melangkah dan menatap Dicky dengan tatapan bingung. Tumben sekali menurutnya Dicky menyapanya. Sejak Asha tahu bahwa Dicky adalah saudara tiri Candra, hubungan di antara mereka lumayan canggung. Apalagi selama Candra dirawat, Asha diberitahu mengenai hubungan yang terjadi antara Dicky juga Candra.
“Lo mau jenguk Candra lagi hari ini?” tanya Dicky sebatas basa-basi. Asha mengangguk dan berkata, “iya. Lo kenapa enggak jenguk dia?”
Dicky tersenyum tipis dan menjawab, “menurut lo dia mau gue jenguk? Lo tau gimana sikap dia kalo ada gue. Lagipula gue enggak mau bikin masalah. Dia lagi sakit.”
Asha mengerti. Hubungan antara Dicky dan Candra ini benar-benar rumit. Asha tidak bisa berkomentar banyak. Ia paham bagaimana perasaan Candra mengenai status Dicky sebagai saudara tirinya, tapi ia juga tidak membenarkan tindakan Candra yang selalu merundung Dicky hanya lantaran kebenciannya. Lagipula keduanya sama-sama kehilangan ibu mereka pada akhirnya.
“Enggak ada salahnya lo coba jenguk, Ky. Mungkin hubungan kalian bisa pelan-pelan diperbaiki,” ucap Asha pada akhirnya.
Dicky terdiam sejenak dan matanya berkaca-kaca. Nama panggilan itu terdengar begitu akrab baginya, seperti suara yang sudah lama dia rindukan. Panggilan itu adalah panggilan yang dia ingat mendiang ibunya gunakan ketika memanggilnya. Bahkan ayah kandungnya tidak pernah memanggilnya begitu apalagi Tirta. Hanya mendiang ibunya yang menggunakannya. Mendengar nama panggilan itu diucapkan dengan nada yang terdengar begitu lembut, mengingatkan Dicky akan mendiang ibunya.
Wanita yang tewas dalam sebuah kecelakaan yang membuat Dicky juga menangis meraung-raung memanggil wanita itu. Tubuh ibunya terbakar dan menghitam lantaran berada di dalam bus ketika kecelakaan terjadi dan api yang muncul dari bus tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Did We Make It?
Teen Fiction[ B E L U M R E V I S I ] Candra yang merasa bahwa semesta begitu kejam kepadanya dipertemukan dengan Asha yang mencoba melawan dunia. Rapuh dan rusak. Keduanya tanpa sadar saling melengkapi dan menghadapi segala hal yang menerpa hubungan mereka. Ca...