Elang menatap laptopnya dengan tatapan serius. Haidar yang sedang duduk di atas kasurnya sambil memakan camilan juga sedang sibuk menatap ponselnya dengan tatapan penuh keseriusan. Elang sedang berurusan dengan bukti-bukti keterlibatan keluarga Yusril dengan tindakan penggelapan dan tindak suap dalam banyak bidang sedangkan Haidar sedang memeriksa semua hal yang sedang teman-teman dari sekolah lama mereka.
“Gila, bokapnya ternyata pernah nyogok pihak polisi karna Yusril pernah enggak sengaja nabrak anak kecil sampe cacat. Kasusnya ditutup dengan alasan kelalaian pihak orang tua dalam penjagaan dan Yusril bisa lepas begitu aja setelah ngasih ganti rugi 50 juta ke pihak keluarga,” ucap Elang sambil menatap tak percaya.
Haidar menoleh dan berkata, “korup juga tuh keluarga. Temen-temen yang lain pada bilang kalo nyokapnya Yusril juga lagi invest di salah satu perusahaan yang ada di kota tempat kita tinggal sebelumnya. Gue juga minta yang lain meriksa tuh perusahaan.”
Elang berpaling dan membuat posisinya yang tadinya duduk menghadap laptop kini menatap ke arah Haidar. “Perusahaan?” tanya Elang yang diangguki oleh Haidar.
“Yup! Perusahaan. Kata temen-temen yang lain sih tuh perusahaan kayak perusahaan baru gitu. Belum sampe lima tahunan gitu. Masih terbilang baru, tapi udah lumayan bagus hasilnya. Agak mencurigakan enggak sih? Apalagi ini perusahaan baru dan investornya enggak banyak. Kebanyakan sih perempuan,” balas Haidar.
“Apa kita minta Om Mirza buat ngawasin perusahaan itu?” usul Elang.
“Boleh sih, tapi kalo nih perusahaan bener-bener legal gimana? Enggak bisa kita jadiin salah satu kartu kita buat ngelawan Yusril.” Haidar bertanya.
Belum sempat Elang menjawab, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dicky. Ketika Elang membacanya, ia lantas menatap Haidar dengan tatapan serius.
“Kenapa muka lo?” tanya Haidar.
“Dicky bilang, Naomi nelpon dia dan bilang kalo Candra enggak bakal bisa ganggu Dicky lagi nanti.” Elang menjawab.
Haidar mengerutkan keningnya dan bertanya, “dia tau kenapa?”
Elang menggeleng. “Dicky bilang, dia nanya kenapa ke Naomi, tapi tuh cewek enggak jawab dan cuma ngomong kalo Dicky bakal menikmati hari-hari SMA dia sampe lulus dengan tenang. Dicky nyoba maksa nanyain jawabannya, tapi Naomi keukeh enggak mau jawab bahkan mulai ngerengek ngajakin Dicky kencan.”
Haidar menganga tak percaya. “Wah, sakit tuh cewek.”
Elang mengangguk menyetujui ucapan Haidar. “Menurut lo, apa yang direncanain Naomi sama Yusril?” tanya Elang.
“Kalo menurut gue sih Naomi kayaknya cuma ngasih bumbu kebohongan aja ke Yusril. Nantinya tuh bocah bakal ngelakuin tindakan kriminal lagi. Pastinya kali ini Candra targetnya,” ucap Haidar.
“Kita belum nemu bukti keterlibatan Naomi di sini. Gimana dong?” tanya Elang.
Haidar memutar bola matanya jengah dan lantas berkata, “gampang. Bikin aja dia mabok trus interogasi dia dan jangan lupa direkam tuh. Jadi buktinya.”
“Heh, babi. Dia diajak mabok sama kita ya mana mau, goblok.” Elang membalas.
“Siapa yang bilang harus kita yang ngajak?” balas Haidar sambil menautkan alisnya.
Elang menatapnya dan kemudian terkekeh kecil. “Bangke. Otak lo lebih kriminal daripada Yusril.” Ia berkata.
“Hanya digunakan di saat-saat yang benar-benar diperlukan,” balas Haidar.
—
Dicky merasa bahwa dua sahabat dekat Candra ini sudah gila. Bagaimana bisa dia yang baru datang ke sekolah langsung ditarik keduanya pergi ke tempat yang agak sepi hanya untuk mendengarkan bagaimana permintaan mereka yang menurut Dicky sangat benar-benar gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Did We Make It?
Teen Fiction[ B E L U M R E V I S I ] Candra yang merasa bahwa semesta begitu kejam kepadanya dipertemukan dengan Asha yang mencoba melawan dunia. Rapuh dan rusak. Keduanya tanpa sadar saling melengkapi dan menghadapi segala hal yang menerpa hubungan mereka. Ca...