Candra berjalan memasuki rumah mereka dengan perasaan lelah. Seharusnya ia pulang besok pagi, tapi hari ini entah kenapa ia ingin pulang secepat yang ia bisa. Ia bahkan mengeluh dan mengancam Mirza serta Tirta bahwa ia akan kabur jika tidak dipulangkan segera. Akhirnya, karena takut Candra melakukan hal nekat, maka Mirza pun mendukung kepulangan Candra yang mana membuat Tirta ingin memukul kepala adiknya itu karena terlalu mudah luluh kepada kemauan Candra.
Mirza meletakkan tas berisi baju-baju Candra di atas sofa ketika Tirta duduk sambil mengembuskan napas panjang dan duduk di sana. Candra bahkan tak ingin ambil pusing dengan apa yang dilakukan oleh dua orang tua itu. Mirza memukul kaki Tirta seolah meminta kepada pria itu untuk memindahkan kakinya agar tidak menghalangi jalan.
Ketika ketiga orang itu asyik dengan dunia mereka sendiri, tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah Dicky dengan tatapan kaget karena melihat keberadaan ketiga orang yang jarang terlihat di rumah itu.
“Lho, Dicky? Kamu abis dari luar? Papa kira udah tidur,” ucap Tirta.
Dicky terlihat gugup dan menatap Ayah tirinya dengan tatapan seakan-akan baru saja dipergoki melakukan suatu kesalahan. Hal ini membuat Candra bertanya-tanya. Kira-kira apa yang disembunyikan oleh anak tiri Ayahnya itu? Gestur Dicky terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu dan Candra ingin sekali mengetahui hal itu.
“Dicky?” panggil Tirta lagi.
“Abis dari rumah temen, Pa.” Dicky pada akhirnya membalas.
Tirta mengangguk paham. “Ya sudah, masuk gih ke kamar kamu. Udah malem juga. Jangan lupa ganti baju trus tidur. Udah makan, 'kan? Kalo belum, mau Papa pesenin makan?” ucapnya.
Dicky menggeleng kecil dan kemudian pamit ke kamarnya, meninggalkan ketiganya di ruang tamu. Mirza pun membuka suara ketika sosok Dicky sudah tak terlihat lagi, “anak kesayangan lo kayak lagi nyembunyiin sesuatu.”
“Ngawur. Mana ada Dicky gitu. Emang dia anak nakal? Enggak, Za. Dia anak baik-baik.” Tirta menyanggah.
Candra, di sisi lain hanya memutar bola matanya dan kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Pemuda itu berjalan menuju kulkas dan membukanya. Ia tersenyum kecil ketika melihat ada sekaleng soda yang sepertinya baru dibeli.
Punya siapa tuh? Punya Om Mirza kali, ya? Ambil aja deh. Batinnya.
Candra mengambil soda kaleng itu dan membukanya. Ketika ia akan meminumnya, tiba-tiba saja seseorang mengambilnya dari tangan Candra. Pemuda itu sudah akan mengamuk sampai ia tercekat kecil begitu melihat siapa yang merebut soda itu dari tangannya.
Dia adalah Tirta.
“Enggak ada minum-minum soda. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Kalo haus, minum air putih aja. Jangan aneh-aneh kamu, Can.” Tirta menegur.
Candra berdecak kecil dan menjawab, “Pa! Dikit doang sih. Minum soda abis keluar dari rumah sakit enggak bakal bikin mati juga kok.”
Tirta menatap sang anak dengan tatapan tajam. Ia tak suka jika anaknya membawa kata-kata ‘mati’ jika tengah berbicara dengannya. Tirta sudah cukup merasakan pengalaman buruk dengan kematian baik dari istri pertamanya maupun istri keduanya. Ia tidak ingin menghadapi kematian yang lain lagi. Apalagi itu anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri.
“Candra, bisa enggak sih kamu enggak ngomong mati depan Papa? Kamu tau, kata-kata itu adalah doa. Jangan sampai Tuhan ngabulin kata-kata kamu. Kalo benar-benar kejadian, kamu enggak mikirin gimana perasaan Papa?” tegur Tirta.
Candra mengembuskan napas berat dan menjawab, “Pa ... bahkan kalo Candra ngomong mati sekalipun, kalo memang belum takdirnya Candra mati, ya enggak akan terjadi. Lagipula apa sih yang Papa takutin? Buktinya Candra sekarang hidup aja tuh. Berdiri depan Papa sambil dengerin omelan Papa yang bikin telinga Candra panas melulu. Coba deh sekali-kali Papa omelin Dicky kek, biar enggak Candra melulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Did We Make It?
Fiksi Remaja[ B E L U M R E V I S I ] Candra yang merasa bahwa semesta begitu kejam kepadanya dipertemukan dengan Asha yang mencoba melawan dunia. Rapuh dan rusak. Keduanya tanpa sadar saling melengkapi dan menghadapi segala hal yang menerpa hubungan mereka. Ca...