[001] Did We Make It?

190 26 11
                                    

FLASHBACK

“Bang, lo yakin dengan keputusan lo?” tanya seorang pria dewasa kepada pria dewasa lain yang lebih tua darinya.

“Mau lo bujuk gue seberapa keras juga enggak bakal ngaruh,” jawab yang lebih tua.

Sang adik mengembuskan napas berat dan kemudian berkata, “secepet itu lo lupain istri lo? Bang, kuburan dia bahkan masih basah. Apa lo gila?”

“Mirza! Jangan ngedikte gue. Jangan bersikap kayak lo yang paling tau. Gue yang ngejalanin hidup gue,” bentak sang kakak.

Sang adik—Mirza hanya bisa berdecak kecil dan kemudian mengangguk dengan tatapan sinis. “Terserah lo, Bang. Cukup inget ini. Cewek itu enggak akan pernah jadi kakak ipar gue. Enggak ada pernah!”

“Lo enggak tau apa-apa. Jadi, jangan sok tau!” balas sang kakak.

Mirza berdecih. “Iya, gue emang enggak tau apa-apa tentang otak lo yang udah enggak berguna itu!” ucapnya dengan nada ketus.

“MIRZA!”

“APA?”

Sang kakak pun mengusap wajahnya dengan frustrasi. Mirza tiba-tiba bersuara, “Candra bakal ikut sama gue. Lo enggak bakal bisa jagain dia.”

Sang kakak—Tirta pun melemparkan asbak rokok yang kebetulan berada di dekatnya hingga pecah menghantam dinding. “Gosah bercanda. Dia anak gue!” sentaknya dengan nada keras.

“Bang, lo egois. Lo mau nikah lagi setelah istri lo baru dua bulan meninggal. Bahkan tanpa izin ke anak lo. Siapa yang bercanda? Gue apa lo?” balas Mirza.

“Cukup! Jangan sampe gue patahin leher lo!” ancam Tirta.

“Lo gila, Bang. Benar-benar gila!” balas Mirza.

Tirta mengembuskan napas berat dan kemudian menatap adiknya dengan tatapan lelah. “Za, tolong kali ini jadi adek yang penurut kayak biasanya. Gue bener-bener capek. Tolong ngertiin gue kali ini.”

Mirza menatap kakaknya dengan tatapan kasihan. Ia menyayangi kakaknya dan menatap betapa lelahnya sang kakak membuat Mirza geram. “Oke! Terserah lo! Gue enggak bakal ikut campur!” ucap Mirza kemudian berlalu pergi dengan perasaan berantakan.

Tirta berharap bahwa keputusannya kali ini benar-benar akan membuahkan hasil yang manis. Benar, ’kan? Ia tak salah mengambil keputusan, ’kan?

Seorang pemuda remaja dengan balutan seragam sekolah yang berantakan itu masuk ke dalam rumahnya yang telah gelap. Ia yakin bahwa orang-orang di rumahnya itu telah tidur karena siapa juga yang ingin terjaga sampai tengah malam begini apalagi besok masih hari-hari sibuk?

KLIK.

Ruangan yang tadinya gelap kini berubah menjadi terang-benderang. Pemuda itu menoleh ke arah dimana saklar lampu berada dan terdapat seorang pria yang kini melipat kedua tangannya di dada. Pria itu menatapnya dengan tatapan tajam.

“Darimana aja kamu, Candra? Kenapa baru pulang? Sekolah kamu selesai jam empat sore, bukan jam dua belas malem.”

“Emangnya Papa peduli? Anak tiri kesayangan Papa itu udah di rumah, ’kan? Udah anteng belajar enggak kayak Candra yang bisanya cuma bikin Papa malu,” balas pemuda itu.

“CANDRA!”

Pemuda itu memutar bola matanya jengah. “Apa?” tanyanya dengan nada malas.

“Apa begitu cara kamu ngomong sama orang tua, ha? Mana sopan santun kamu?” balas pria itu.

[END] Did We Make It?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang