[032] Did We Make It?

32 7 0
                                    

Naomi mengembuskan napas berat ketika duduk di bangkunya. Pagi ini Yusril terlihat begitu menempel kepadanya dan Naomi harus memilih begitu banyak alasan yang tepat agar bisa bebas dari Yusril. Hari ini ia sudah dalam suasana hati yang buruk ketika berangkat ke sekolah dan ia berharap bisa segera bertemu dengan Dicky untuk memperbaiki suasana hatinya. Memikirkan Dicky, tanpa sadar membuat Naomi tersenyum bahagia.

Gue bakal pastiin Dicky jatuh cinta ke gue. Yusril pasti bisa bikin Candra dan teman-temannya enggak ngebully Dicky lagi. Setelah itu, gue bakal muncul seolah-olah gue yang bikin perundungan itu berenti dan Dicky pasti bakal berterima kasih sama gue. Setelah itu dia bakal jatuh cinta sama gue. Naomi, lo pinter banget deh. Batin Naomi berangan-angan.

“Oh, bener. Dicky belum dateng. Gue mau ke kantin dulu trus beliin dia roti selai kopi sama susu vanila. Itu 'kan makanan kesukaan dia kalo dia lagi enggak ke kantin. Hehe, siapa tau dia luluh sama gue hari ini.” Naomi pun dengan perasaan berbunga-bunga langsung berjalan meninggalkan ruang kelas yang masih lumayan sepi karena masih sangat pagi.

Luna menatap Elang dan Haidar dengan tatapan tak percaya. Tadi malam ia dikirimkan pesan agar hari ini berangkat lebih awal ke sekolah karena mereka ingin mengatakan sesuatu yang penting. Keduanya menjelaskan mengenai kecelakaan yang dialami oleh Candra dan Asha kemarin serta mengenai keterlibatan Yusril dan Naomi di sini.

Hari ini Candra masih dirawat di rumah sakit dan tidak diperbolehkan oleh Tirta untuk pulang. Bahkan ayah-anak itu bertengkar sampai akhirnya Mirza mengatakan bahwa Candra hanya akan dirawat selama tiga hari yang mana membuat Candra tetap jengkel dan marah kepada ayahnya. Tirta jelas tidak bisa menghadapi anak kandungnya itu sebaik Mirza.

“Trus rencana kalian gimana? Kalian enggak mungkin biarin hal ini gitu aja, 'kan? Ini hampir bikin nyawa orang ilang,” ucap Luna.

“Emang enggak,” jawab Haidar sambil membuka bungkus permen batang dan kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya.

Luna menatap keduanya dengan tatapan bertanya. Ia ingin keduanya menjelaskan lebih rinci. Biar bagaimanapun Asha adalah teman baiknya dan Luna juga sudah menganggap Candra sebagai temannya juga beserta kedua ‘anak itiknya’ ini.

“Naomi 'kan suka sama Dicky.” Elang membalas dengan malas.

Luna tak memahami apa hubungannya perasaan suka Naomi kepada Dicky dengan masalah ini. “Trus? Hubungannya apa? Ini enggak kayak kalian bisa bikin Dicky buat deketin Naomi dan akhirnya kalian berhasil ungkap kejahatan mereka, 'kan?” balas Luna.

Haidar dengan mulut terbuka langsung bertepuk tangan begitu mendengar tebakan Luna. Elang terkekeh geli dan melipat kedua tangannya di dada sedangkan Luna menatap keduanya dengan tatapan bingung sebelum akhir mulai menatap mereka dengan tatapan tak percaya.

“Kalian pasti becanda. Enggak mungkin tebakan gue barusan bener, 'kan?” ucap Luna masih tidak mau percaya.

“Oke,” balas Elang dengan nada menggoda. Luna jelas tidak senang dengan respon itu. Ia langsung memutar bola matanya jengah dan kemudian berkata, “gimana ceritanya Dicky bakal ngelakuin itu? Kalian aja selama ini ngerjain dia. Jangan kalian kira gue enggak tau, ya? Gue diem karna gue enggak mau ikut campur aja. Terlibat sama hal-hal ngerepotin gitu bikin idup gue enggak tenang. Nanti gue bakal diganggu dan gue paling males kalo sampe berurusan sama perundungan apalagi sampe ke para guru.”

“Sederhana kok, Lun. Dicky 'kan yang ngasih tau kita kalo Yusril pelakunya,” ucap Elang.

“Lang, cuma karna dia yang ngasih tau kalian kalo kecelakaan kemarin itu ulahnya Yusril, enggak langsung bikin dia bakal mau bantuin rencana kita ini. Lagian bisa aja dia malah enggak mau bantu karna kalian selama ini gangguin dia,” sanggah Luna.

[END] Did We Make It?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang