Matahari Malam Hari

491 75 9
                                    

"Thanks, bro!"
Pansa mengepalkan tangan dan meninju tangan Lim untuk berpamitan. Stasiun Kereta ShoreLine masih dipadati banyak orang. Pansa mengambil ponsel dari saku roknya, kemudian melihat jam. Sudah pukul lima sore, dia membuka pesan terakhir yang belum ibunya balas dan kemudian mulai mengirim pesan lagi.

Mom, aku udah di stasiun.
Aku baik-baik saja.


"Bukuku tolong bawa ya! Besok bawa ke sekolah. Bajumu bakal aku cuci dulu sebelum kubalikin."

Lim mengangguk dan tersenyum. Laki-laki tampan itu akhirnya pergi.

Pansa berjalan memasuki stasiun untuk membeli tiket terlebih dahulu. Setelah mengambil tiket dia pelan-pelan melangkahkan kaki. Bayangan angka itu muncul lagi. Rambut sebahu hitam pekatnya menari tertiup angin. Ia berhenti, mulai mengamati. Seorang kakek tua berjalan pelan di depannya menuju toko roti kecil yang ada di stasiun. Pansa mulai mengira-ngira langkah si kakek. Kalau kecepatannya seperti itu, bisa saja beliau sampai dalam beberapa menit. Gadis itu membuang muka dan menatap ke arah lain. Seorang laki-laki berusia dua puluhan berlari-lari kecil sambil melihat ke arah tasnya. Sial! Kalau laki-laki itu tidak melihat jalan, kakek itu pasti akan ditabrak. Pansa berlari secepat yang ia bisa untuk menghentikan itu. Entah mengapa ia melakukannya. Pikiran dan tubuhnya bersikap impulsif. Pansa menarik si kakek pelan namun cepat. Rambut hitam pekat yang tergerai itu mulai menutup wajahnya.

"Mas, hati-hati dong!" Seru Pansa sedikit berteriak. Laki-laki itu berhenti dan berbalik melihatnya, mengerutkan kening. Lalu pergi begitu saja.

"Anda tidak apa-apa?" Pansa melihat ke arah kakek itu. Si kakek tidak kalah bingung dengan si laki-laki.

"Memangnya saya kenapa?" Jawab si kakek.

Hah? Apakah ini nyata?

Pansa melihat ke arah tiket dan mendengar pengumuman bahwa keretanya akan segera berangkat. Dia bergegas dari sana. Setelah melewati beberapa gerbong, dia akhirnya menghela napas lega dan duduk di kursinya.

Kursi di sebelahnya kosong. Ini hal biasa, dan itu menyenangkan. Pansa memasang headphone ke telinganya dan mendengar album Breath Tape. Dia perlahan menutup matanya.

Pansa terbangun begitu ia merasa bahunya ditimpa sesuatu. Ia perlahan membuka mata, menoleh kesebelahnya. Gadis itu membulatkan mata. Suara violin di telinganya mengalun lembut seperti sebuah teater dalam adegan yang romantis. Mendadak ia tidak ingin bergerak. Love di sebelahnya. Gadis yang saat ini membuat jantungnya tidak aman. Gadis yang membuat perasaannya pun menghangat. Pansa menoleh lagi ke arah gadis di sebelahnya. Menyibak rambut dari pipi gadis itu. Betapa tenang tidurnya, betapa damai wajahnya. Pansa kemudian melihat ke depan dan bersikap mematung. Takut kalau ia bergerak, gadis di sebelahnya akan terbangun.

Tidurlah gadis kecil. Saat tidur, tidak ada  rasa sakit. Tidak ada kecemasan. Tidak ada angka-angka. Tidak ada pengabaian atas keinginan diri sendiri. Tidak ada. Hanya kamu di sana. Bersama yang kamu inginkan.

Pansa melamun. Pikiran itu untuk dirinya sendiri. Mengapa ia tujukan pada gadis di sebelahnya? Dia tersenyum getir. Suara anak-anak dan harmoni mulai berdengung di telinganya. Matahari terbenam memamerkan cahayanya yang indah pada wajah Pansa. Pansa menarik tirai jendela kereta, menutup separuh untuk melindungi gadis di sebelahnya. Ia mengambil ponselnya dan sadar kalau mereka sudah berada di sana selama tiga puluh menit. Pansa mulai merasa bahunya mati rasa.

TRAIN GAZINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang