Pertama Kali

449 71 13
                                    

TANGAN Pansa gemetar dan butir-butir keringat dingin mulai menggumpal di bagian pelipisnya. Napasnya memburu dan tangannya menggapai-gapai sesuatu. Setelah beberapa detik, Pansa membuka mata kasar, menatap dinding polos di depannya. Pansa berusaha duduk, mengelap dahinya yang berkeringat. Ia menarik napas dalam, sampai ia merasakan sedikit sakit pada dadanya. Pansa menyadari, dia tidak di rumah Love, tidak di rumahnya, melainkan di tempat tinggal yang baru. Lina, orang baik yang mengurus rumahnya sejak ayahnya sakit sampai sekarang, juga ikut mengurus segala sesuatu untuknya. Terkadang, kamu bisa mendadak terheran-heran, bahwa bagaimana bisa kamu merasa begitu dekat dengan seseorang yang bahkan bukan keluarga sedarahmu. Pansa memikirkannya terkadang.

Pansa membuka ponselnya, mengecek kembali apakah pesan yang dia kirimkan pada Love sebelum dia tidur sudah berbalas. Sudah pukul dua dini hari tetapi gadis mungil itu belum juga membalas pesannya. Jangankan membalas, membaca saja belum. Pansa mengempaskan kembali tubuhnya, berbaring. Tangannya terentang ke kanan dan ke kiri. Lamat-lamat ia memejamkan mata. Ia merindukan gadis itu. Gadis berambut cokelat yang terkadang suka mengendus lehernya saat tidur. Ponsel yang berada di genggaman tangan kirinya diangkat, cahaya dari benda itu menyiram wajahnya. Tangannya sibuk mengetik.

Love, apakah kamu masih tidur?

Pansa meyakini benar, Love pasti tengah tidur. Terkadang saat kamu begitu merindukan seseorang, kamu akan mengiriminya pesan atau menemuinya atau bahkan sekadar melihatnya dari jauh meski pun kamu tahu kemungkinan terburuknya, perasaan itu tidak berbalas. Tidak ada tanda-tanda Love akan membalas.

Semoga tidurmu nyenyak.

Pansa menggulir pesan lama di ponselnya bersama Love. Dia tersenyum sesekali ketika mereka membicarakan hal yang lucu. Beberapa menit berlalu, dia menggulir layar ke bawah, memeriksa. Tetapi pesannya sama sekali tidak dibaca. Pansa tersenyum tipis lalu mengirim pesan lagi. Mungkin ini pesan terakhir sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali tidur.

Love, is everything okay? Maaf mengganggumu malam-malam begini. Tetapi aku ingin sekali bilang, aku merindukanmu. Sampai ketemu besok.

Ponsel Pansa bergetar dan layarnya menyala saat Pansa akan meletakkan Ponselnya ke meja belajar di sebelah kasur tidurnya. Pesan itu dari Love, dari orang yang ditunggunya sejak sore. Pansa tersenyum senang dan membukanya buru-buru.

Sorry, ini siapa?
Pacar gue lagi tidur di sebelah gue.
Hubungi besok aja, berisik!

Butuh berapa banyak pukulan agar kamu tersadar dari imajinasi sempurnamu tentang seseorang? Pansa sudah ditampar bahkan saat dia pertama kali bertemu dengan gadis mungil bermata cokelat tua itu di kereta. Tetapi bagaimana pun dia tidak pernah kuasa untuk mengenyahkan perasaannya. Koneksi itu terlalu kuat. Saling bertaut menjalar-jalar membentuk sistem syaraf dalam jantung dan hatinya. Mengirim sinyal di otak untuk tetap dalam khayalan palsu bahwa suatu saat, gadis itu akan berpaling ke arahnya. Melihatnya sebagai satu-satunya. Darimana kerakusan itu dia peroleh? Ia tidak pernah tahu.

Pansa menarik selimut sampai menutupi lehernya. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang. Semua kilas balik berputar bagai film. Pansa membutuhkan tangan Love untuk dia genggam saat dia ingin tidur. Pansa butuh pelukan Love saat dia terbangun dari mimpi-mimpi buruk yang menderanya hampir setiap malam. Pansa butuh pelukan tangan Love di pinggangnya saat di atas motor. Pansa rindu percakapan acak yang mereka lakukan setiap kali pergi sekolah. Pansa rindu bibir lembut itu menyentuh bibirnya. Love, aku benar-benar merindukanmu. Bagaimana ini? Bisa apa aku tanpamu? Pansa menangis. Air sungai mulai terbentuk di pipinya, mengalir pelan. Rasanya panas seperti air yang baru saja dididihkan. Pansa menangis. Sungguh, kali ini ia yakin bahwa itu bukan karena mimpi buruknya, tetapi mimpi yang lebih buruk.

TRAIN GAZINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang