SUDAH pukul 4 pagi. Pansa membuka matanya pelan, pandangannya masih buram. Jarum jam di kamar itu begitu jelas berdetak. Gadis jangkung itu berulangkali mendengar gelas dan piring pecah dan berserakan di lantai. Suara teriakan terus menggema dalam kepalanya. Kakinya dingin, tangannya sedikit gemetar. Debaran dadanya mulai tak beraturan. Napasnya sedikit memburu. Tidak, kumohon. Jangan lakukan itu lagi. Aku... tidak ingin mendengar apa pun. Tolong aku... tolong!!! Pansa menggelengkan kepalanya. Ketika tangannya ingin menutup telinga, gadis itu merasakan sesuatu mengendus lehernya, tangan yang begitu erat memeluknya. Sejak kapan dia menjadi seperti ini? Pansa masih mengingat kecanggungan yang mereka rasakan ketika masuk ke kamar dan ingin tidur, mereka saling membelakangi. Gadis sipit itu membulatkan mata. Love tengah memeluknya. Pansa menarik selimut dengan kakinya lalu pelan sekali membawa selimut itu menutupi tubuh mereka berdua. Gadis berambut sebahu itu pelan menyisir rambut depan gadis mungil di depannya dengan ujung jari telunjuknya. Pansa tersenyum, lalu perlahan dia merasa pipinya memanas. Ia mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Saat bibirnya menyentuh bibir gadis yang lebih kecil. Yang paling membuat dia merasa bahagia adalah... gadis yang tengah tertidur di pelukannya juga membalas ciuman itu. Pansa mengusap pelan mata gadis itu, mencari sisa-sisa air mata. Mata gadis mungil itu masih sedikit basah. Apakah kamu masih bersedih? Gadis yang lebih tinggi itu memeluk kepala Love dengan lembut. Love, semoga kesedihan selalu memperlakukan matamu dengan baik. Pansa berdoa.
-
"L-l-love, apakah kita perlu ke bandara sekarang? Jam berapa tepatnya ayahmu berangkat?" Pansa setengah mati menahan rasa gugupnya saat melihat gadis yang lebih kecil masih tertidur.
Gadis kecil itu menggeliat, meregangkan otot-ototnya, lalu menatap gadis yang lebih tinggi dengan tatapan ramah.
"Tidak perlu, Pansa. Aku akan menelepon ayahku nanti, atau mengiriminya pesan."
Gadis mungil itu melihat ke arah jam dinding. Terlalu dini untuk mandi. Namun ia terkejut melihat Pansa yang tengah mengeringkan rambut."Kamu sudah mandi? Ini baru pukul..."
"Aku kira kita masih sempat melihat ayahmu. Jadi aku bersiap terlebih dahulu."
Pansa menyela."Oh-okay."
Gadis mungil itu beranjak dari tempat tidur dan berlalu ke kamar mandi. Tidak terlalu buruk dengan sapaan pagi ini, pikir Pansa. Semoga semua baik-baik saja. Namun, meski begitu, Pansa masih bertanya-tanya mengapa gadis mungil itu membalas ciumannya.
-
Love menjadi lebih sering menyentuh tubuh Pansa. Ketika di atas motor, ketika berjalan bergandengan, ketika di kereta, menyandarkan kepalanya ke bahu Pansa yang kurus. Tapi Pansa membiarkan gadis kecil itu menyentuhnya sesukanya. Meski ia harus menahan senyum akibat hatinya yang terlalu gembira. Ketika sampai di kota ShoreLine, Love sudah dijemput oleh Han. Tetapi, Love malah menolak ajakan untuk mengantarnya.
"Aku bareng kak Pansa, ya."
Han hanya tersenyum teduh lalu membawa motornya berlalu dari stasiun. Perjalanan menuju sekolah jauh lebih panjang dari biasanya.
"Apa mimpimu?" Love menggenggam tangan Pansa, mengayunkannya pelan ke udara.
"Aku tidak yakin punya mimpi. Tapi aku ingin bekerja untuk ibuku," jawab Pansa.
Pansa membenarkan beanie di kepalanya.
"Bagaimana denganmu?""Entahlah. Aku tidak yakin apakah aku pantas punya mimpi."
Pansa berhenti, begitu juga Love. Gadis yang lebih tinggi memegang bahu gadis yang lebih kecil.
"Hey. Ku pikir semua orang punya hak untuk punya mimpi. Kalau kamu tidak tahu, kamu bisa menemukannya mulai dari sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAIN GAZING
FanfictionIf you know you would have to endure pain in the end, would you still want to love? #milklove Milk dan Love written by Anaheim