Love, Apakah Kamu Percaya Tuhan?

433 70 12
                                    

JUMAT dini hari, Pansa masih berkutat di komputernya. Surel yang dia terima mulai banyak yang masuk. Mau tak mau, dia harus berusaha mengerjakan semua pekerjaannya secepat mungkin. Suara kaca pecah mulai terdengar nyaring. Pansa menghentikan tangannya sebentar dan menarik napas dalam. Bibirnya bergemeletuk. Dia memegang dadanya yang sedikit sesak. Tapi, ia tetap memberanikan diri membuka sedikit pintu.

"Mati saja kau, brengsek!"

Pansa langsung melihat ke dapur. Ibunya memberikannya kamar tidur di dekat dapur. Lalu kamar ayahnya di dekat tangga. Wajah Pansa menyipit berharap melihat dengan jelas.

"Hidup kok ga berguna! Kamu tuh penjahat bukan orang gila!"
Itu jelas suara ibunya.

Pansa berjalan pelan keluar kamar dan menuju saklar lampu dapur. Ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi.

Ketika lampu dinyalakan, Pansa hanya melihat darah yang berceceran di lantai. Pansa menutup mulutnya. Matanya kemudian membelalak melihat sekeping pecahan kaca penuh darah di tangan ibunya.

"Mom, a-a-pa yang ma-ma l-la-lakukan?"
Tubuh Pansa merinding. Pansa berjalan lebih dekat. Sekarang bisa ia lihat, di baju ayahnya sudah basah oleh darah.

Srekkk

Sekali lagi, ibunya menggoreskan pecahan kaca itu pada wajah ayahnya. Tubuh ayahnya mulai sempoyongan dan pelan tergeletak ke lantai. Ayahnya meringis kesakitan. Ibunya kemudian berbalik melihat ke arah Pansa dan tersenyum. Pipi wanita paruh baya itu sudah basah campur darah dan air mata. Mata wanita itu masih merah penuh dendam.

Pansa tidak tahu harus bereaksi apa selain menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Pansa! Lihat mama! Ini bukan salah mama. Bajingan itu memperkosa perawatnya sendiri. Bajingan itu bukan orang gila tapi penjahat! Semua penjahat harus mati! Harus mati!"

Ibunya menggigit giginya dan berbalik badan untuk menyerang ayahnya lagi. Tapi Pansa buru-buru mencegahnya. Ibunya tidak sengaja menggores pergelangan tangan Pansa.

Ibunya mabuk. Sungguh. Ia bisa mencium bau bir dari mulut ibunya. Sudah berapa banyak yang ibunya minum sampai ia mabuk separah ini? Pansa meringis. Menggigit bibirnya kuat sambil menahan rasa sakit. Perawat keluar dari kamar ayahnya dengan pakaian yang berantakan. Perawat itu menangis dan terus-terusan menatap mengiba pada Pansa. Sungguh bukan dia yang menggoda laki-laki paruh baya itu. Dan untuk beberapa alasan, Pansa mempercayainya.

Pansa bingung apa yang harus ia lakukan. Kepalanya terasa pusing dan perutnya serasa ditekan. Pansa berlari ke kamar mandi dan muntah. Ia merasa mual dan bingung melihat darah dan semua yang terjadi. Otaknya seakan kaku, tidak bisa diajak untuk berpikir.

Apa yang harus kulakukan?
Ia terus memuntahkan sesuatu dari mulutnya sambil terus bertanya-tanya. Makin berpikir Pansa semakin mual.

Pansa terduduk di lantai kamar mandi dapur dan mulai menggigit-gigit kukunya. Suara sirene ambulan mulai terdengar semakin dekat. Pansa masih di dalam kamar mandi. Takut untuk keluar.

Suasana rumah kembali hening. Hening seperti biasa. Seperti yang seharusnya. Dengan perasaan yang penuh dengan ketakutan, Pansa keluar. Dia melewati simbahan darah di lantai. Ia masih melihat dengan jelas semua kejadian itu. Ia merasa dejavu.

Gadis dengan rambut hitam sebahu itu berlari kecil ke kamarnya. Mengambil tas dan memasukkan beberapa pakaian, laptop kecil dan amplop berisi uang. Tak lupa juga ponsel dan beberapa buku. Ia buru-buru lari dari sana. Dia terus berlari tanpa tujuan.

Pansa menangis. Berkali-kali dia menarik hidung lurusnya. Pandangan matanya semakin memburuk. Ia berlari terus menerus hingga sampai di stasiun Skyline.

TRAIN GAZINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang