Apakah Aku Juga Memilikimu?

574 83 10
                                    

MALAM hampir larut saat Pansa sampai di depan rumah Love. Setelah memasukkan motornya ke bagasi, Pansa bergegas kembali ke pintu. Pansa tidak perlu lagi mengetuk. Ia sudah memiliki kuncinya sendiri. Mata Pansa menyapu sebentar ke seluruh ruangan. Masih lengang. Seperti biasa. Dia hampir tidak pernah mendengar tawa di rumah itu. Sama seperti di rumahnya. Kadang Pansa berpikir bahwa rumah memang tidak memiliki tawa sama sekali. Hanya gelap. Hanya sepi. Pansa berjalan dengan kaki lesu dan jari jemari yang kaku. Ia sudah menghabiskan seharian ini untuk mengerjakan soal-soal dan berkumpul di komunitas baru yang ditemukannya bersama Re. Ada banyak latihan lanjutan dan itu membuat rasa kosong dalam dirinya sedikit terpenuhi.

Pansa tidak menemukan Love di dalam kamar. Biasanya gadis mungilnya akan berbaring, atau duduk di pinggiran tempat tidur, menatapnya tajam seolah terganggu karena dirinya pulang sangat larut. Tapi Pansa tidak terlalu memikirkannya. Dia membawa handuk di bahunya lalu pergi ke kamar mandi. Pansa menyalakan shower dan membuka seluruh pakaiannya. Lengannya yang sedikit berotot mulai diusapnya dengan sabun. Hari ini cukup baik. Tapi tak cukup baik karena dia begitu... Merindukan Love. Love sering menghilang dalam pandangannya beberapa hari ini. Dia seperti tidak diizinkan bertemu dengannya selain di rumah. Mereka jarang bicara. Gadis mungil itu sangat pendiam. Setiap kali Love tertawa dengan Han, diam-diam hati Pansa menjadi berat. Dia juga ingin membuat gadis itu tertawa. Tapi yang bisa dia lakukan hanya menjaga jarak. Love bahagia memiliki kekasihnya dan Pansa harus berbahagia dengan itu. Tapi perasaan ini menuntut. Perasaan ingin memiliki. Ingin sekali menariknya untuk dirinya sendiri. Apakah aku memang harus pergi?

Pansa berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Sesaat lantunan piano terdengar dari salah satu kamar di rumah itu. Tempatnya di bawah tangga. Ruangan yang tidak begitu besar dan tidak begitu kecil. Pansa berjalan pelan dan duduk di samping pintu. Ia menyandarkan badannya ke dinding, menyilakan kakinya dan memegang gelas. Seluruh indranya mendengarkan dengan hati-hati.

Pansa tersenyum, ia yakin Love menggunakan tangan kanannya untuk menekan harmoni pada tuts piano. Gerakannya agak lambat seolah menghitung dengan perasaannya, menyalurkannya di sana. Beberapa detik berlalu, Pansa masih tersenyum ketika dia merasa gadis itu sudah menekan chord dengan tangannya yang lain. Lalu gerakan itu semakin lama... semakin cepat. Kemudian melambat... dan penuh perasaan lagi. Pansa merasa kagum dan gembira sampai semuanya menghilang setelah ia menyadari ini... musiknya Beethoven, Theme from symphony no. 3 Eroica.

Love tidak terlalu buruk melakukannya. Pansa menikmatinya. Andai saja ada violin di sana. Lalu ada flute, kemudian seorang konduktor berdiri memberi arahan.

Mendadak Pansa merasa rumah itu begitu riuh. Senyumnya semakin cerah. Lalu senyum itu berubah lembut saat permainan Love sampai pada pertengahan lagu. Harusnya di sini hanya ada piano dan violin. Hatinya sedikit teriris. Mendadak Pansa mengingat notes komposer itu ketika menciptakan musik ini. Saat kesehatan pendengarannya mulai menurun.

But what a humiliation for me when someone standing next to me heard a flute in the distance and I heard nothing, or someone heard a shepherd singing and again I heard nothing. Such incidents drove me almost to despair, a little more of that and I would have ended my life. It was only my art that held me back.

Love menekan Piano kasar dengan semua jari-jarinya. Pansa tersentak. Apakah dia baik-baik saja? Tak lama, Pansa mendengar nada C ditekan berulang-ulang, terdengar begitu frustasi.

Pansa meneguk semua air yang tersisa di dalam gelas. Pansa bermaksud berdiri dan mengetuk pintu kamar itu, namun sesaat ia kembali duduk. Love memainkan lagu lain. Lagu yang sedikit... sedih.

Bahu Pansa turun. Kemudian ia bergumam menyanyikan lagu itu.

🎵

When I am alone I sit and dream

TRAIN GAZINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang