Apa yang Salah?

468 71 22
                                    

MEREKA duduk bersisian di dalam kereta. Setelah kembali dari festival musik, tidak ada yang membuka suara untuk menghidupkan percakapan. Pansa begitu bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi dia sedikit lega, setidaknya dia ada di sana jika sesuatu terjadi kepada gadisnya.

Tangan Love bergayut di lengan Pansa dan Pansa menyambutnya dengan menggenggam tangan itu. Kepala Love rebah di bahu Pansa. Pansa menoleh ke arah jendela. Banyak pengemudi yang berhenti, menunggu kereta mereka lewat. Suara paduan kereta dan rel tidak begitu berisik. Pansa meletakkan kepalanya ke kepala Love. Ia sesekali membetulkan beanie biru gelap di kepalanya.

"Pansa, mengapa manusia harus bertuhan?" Love menatap ke arah sepatunya dan sesekali memegang tangan Pansa lebih erat.

"Kenapa kamu bertuhan?"
Love melayangkan pertanyaan lagi.

"Mengapa aku harus tidak bertuhan?"
Jawab Pansa pelan. Ia menoleh ke arah Love dan mendapati tatapan Love kosong dan dingin.

"Mengapa kamu percaya pada seseorang yang tidak pernah bisa menghentikan penderitaan manusia?"

"Apa yang terjadi padamu, Love? Mau berbagi denganku?"

Love diam. Semakin diam. Pansa akhirnya membuka suara, memecah keheningan lagi.

"Kita diberi akal budi dan ilmu pengetahuan untuk belajar memahami, Love. Untuk apa kita diberi itu kalau kita masih meminta penjelasan Tuhan?"

"Karena itu, mengapa kamu harus bertuhan? Kalau akal budi sudah membuatmu bisa menjelaskan semuanya?"

"Aku tidak seharusnya membaurkan ilmu yang ku dapat dengan sesuatu yang aku rasakan Love. Begitu juga sebaliknya. Kamu tahu enggak, Galileo pernah ditegur oleh gereja dan kena sanksi karena kegigihannya mempertahankan teori bahwa bumi mengelilingi matahari bukan matahari yang mengelilingi bumi. Kemudian Galileo juga ikut membantah mereka," jawab Pansa. Ia mengambil napas dan melihat gadis mungil di sebelahnya, mengira-ngira apakah gadis mungil itu tertarik dengan jawabannya.

"Tolong lanjutkan! Apa yang dikatakan Galileo?" Love menuntut. Ia menoleh ke arah Pansa dengan serius. Pansa tersenyum dan menyelipkan helaian rambut Love yang jatuh ke telinga,

"Galileo mengutip kalimat seorang pendeta gereja dan bilang, 'Boleh kok saya ditegur. Tetapi pendeta itu juga kan bilang, 'The holy teaches us how to go to heaven, not how heaven goes.'''

Love terkekeh, "Bandel sekali"

"Kitab suci mengajarkan bagaimana kita naik ke langit, bukan bagaimana langit bekerja. Kita diberi akal budi untuk belajar dan memahami dan karena itu kita jadi bertanggung jawab."

"Ah begitu. Ilmu pengetahuan tidak ada hubungannya dengan kamu bertuhan?"

Pansa mengangguk.
"Kadang-kadang bertuhan itu adalah penilaian pribadi, Love. Aku tidak bisa memaksa kamu untuk bertuhan berdasarkan dengan penilaian pribadiku. Begitu juga sebaliknya."

Love diam sejenak.
"Bagaimana menurutmu dengan ungkapan bahwa rambut blonde bangsa kulit putih adalah bangsa yang terbaik pada zamannya?"

"Nah, penilaian pribadi itu berbahaya, Love. Ilmu pengetahuan ada untuk mengurangi penilaian pribadi. Bahwa kalau kita sakit di bagian dada karena tidak kuat suhu dingin maka kita bilang ke orang sebelah yang sakit dada adalah karena cuaca dingin. Bisa saja kan dia sebenarnya punya penyakit jantung? Pada banyak kejadian, penilaian pribadi kadang membunuh. Bahwa penilaian rambut blonde lebih baik dari yang lainnya itu sangat tidak berdasar."

"Ya..." Love menarik pinggang Pansa lebih mendekat. Pansa tersenyum hangat.

"Jika terjadi sesuatu di alam, di dalam diri kita, selalu ada penjelasan. Ilmu pengetahuan membawa kita pada penjelasan itu, kan? Alih-alih harus menyalahkan Tuhan. Semua orang harus bertanggungjawab atas diri mereka sendiri." Love mengatakannya dengan pelan, seperti mengatakannya pada dirinya sendiri.

TRAIN GAZINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang