Kamu Boleh Tidur

437 65 9
                                    

      RABU pagi yang dingin mencekik leher Pansa. Ia berada di depan komputer sepanjang malam, selama beberapa hari. Gadis itu tampak pucat. Tubuhnya yang kurus berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Ia duduk dan memeluk lututnya. Membiarkan air membasahi tubuhnya. Matanya sayu dan tampak sangat lelah. Pansa mandi dengan piyamanya. Sesekali ia menekan-nekan udara dengan jari-jarinya seperti menekan tuts piano. Seluruh jarinya kaku. Apa aku absen saja ya? Pansa tidak bisa melakukannya. Dia ada jadwal bertemu dengan kepala sekolah hari ini. Tapi sungguh ia merasa kepalanya sangat berat.

-

Pansa melihat ponselnya saat makan. Tidak ada pesan masuk sama sekali dari nomor baru. Apakah Mili belum memberikan nomorku ya? Pikirnya. Padahal ini sudah dua minggu sejak Mili mengirimkan pesan itu. Tapi tidak apa-apa, dia akan memberanikan diri melihat Love di sekolah. Kalau mereka tidak berpapasan, dia yang akan samper ke kelasnya. Memikirkan itu saja bisa membuat bibirnya tersenyum. Dapur selalu sunyi. Ia selalu seperti menghuni rumah itu sendiri.

Setelah membereskan dapur, gadis itu berjalan ke arah kamar ayahnya. Kamar itu selalu terlihat menakutkan. Tangan Pansa gemetar, tubuhnya merinding. Dia perlahan memegang kenop pintu. Tapi, kegugupan membuat gadis itu melepaskannya kembali.

"Mbak, tolong bantu ya."
Pansa menyapa perawat yang sudah selesai menyiapkan sarapan untuk ayahnya. Perawat itu mengangguk dan tersenyum. Pansa membungkukkan sedikit kepalanya berpamitan. Ia berjalan keluar rumah. Pemandangannya mulai buram tapi ia tetap memaksakan diri.

-

Pansa duduk di kursi nomor tiga belas. Kereta mulai padat sampai-sampai ada beberapa penumpang yang berdiri. Pansa tidak bisa juga memejamkan mata. Ia mendengarkan musik dan melihat ke arah buku yang dipegangnya.

Belajar mulu! Tapi kerjakan deh soal ini. Aku salin nanti kalau materinya sudah sampai di sini. Tetap jaga kesehatan dan jadilah bego sekali-sekali. - Lim

Pansa mengusap catatan itu lalu kemudian dia menyeringai. Kesal. Tapi dia kemudian mengambil pensil dari tasnya dan mulai sibuk mencoret-coret. Tak butuh waktu lama, halaman di buku tebal itu sudah penuh dengan coretan. Pansa bergumam-gumam seperti asyik sendiri. Dia tidak peduli suara musik yang ada di telinganya. Juga tidak terusik dengan kursi kosong yang sudah terisi di sebelahnya.

Pansa tenggelam dalam dunianya.

Love, yang berada di sebelah Pansa duduk diam. Sesekali melirik ke arah gadis yang tengah serius di sebelahnya. Love meminta orang yang harusnya di sebelah Pansa bertukar tempat duduk dengannya. Lebih baik satu bangku dengan orang yang kamu kenal, bukan? Love kemudian sibuk melamun dan bernyanyi kecil mengikuti musik yang ada di telinganya.

Pansa menguap dan perlahan tertidur. Ia tidak sadar lagi sudah menjatuhkan pensil yang ia pegang. Beberapa menit kemudian ia merasa nyaman seperti tidur di atas bantal. Tubuhnya sangat rileks. Dia tidak sadar kalau... Kepalanya sudah berada di atas kaki gadis di sebelahnya.

Pansa merasa ada yang mengusap kepalanya lembut dan menepuk-nepuk bahunya. Perasaannya menghangat dan pelan sekali, air matanya jatuh. Matanya basah. Pansa meringkuk. Tangan kirinya memeluk lengan kanannya.

Kamu boleh tidur.

Pansa mendengar bisikan itu dalam kepalanya.

Kereta akhirnya berhenti namun Pansa belum juga bangun. Gadis di sebelahnya menepuk-nepuk pipinya pelan untuk membangunkannya.

"Kak! Kak! Hey! Pansa... Pansa...?! Bangun!" Love setengah berseru. Antara ingin Pansa bangun dan tidak ingin gadis itu kaget sewaktu bangun.

Pansa perlahan membuka matanya, dan membukanya sangat lebar. Hah?
Dia bangun dan merasa sedikit pusing.

TRAIN GAZINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang