Datang Padanya

576 75 11
                                    

"HAI, Ben!" Pansa tersenyum lebar sambil menyodorkan tinjunya ke arah Ben. Laki-laki yang dipanggil membalas senyum lebih lebar lagi dengan menyentuh tangan Pansa dengan tinjunya. Lim di kejauhan tersenyum tipis sambil meletakkan beberapa camilan di meja ruang tamu dan beberapa minuman.

"Yuk masuk!" ajak Ben. Laki-laki setinggi Pansa itu membuka pintu lebih lebar, membiarkan Pansa dan juga Re masuk.

"Pansaaaaaaaaaa!!!!!" Suara nyaring dari suara seorang gadis mulai memenuhi telinga semua orang yang berada di sana. Mili baru keluar dari toilet dapur.
Pansa memutar ke dua bola matanya tapi sebentar dia terkekeh geli saat gadis itu memeluknya dan mencium pipinya.

"Miliii lepas!" seru Pansa. Namun, Mili membuat tubuh mereka saling berhadapan lalu memeluk Pansa dengan posisi yang benar. Pansa tersenyum dan membalasnya sedikit. Menghiburnya.

"Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kalau kalah, bukan berarti kamu tidak cerdas, Mil. Okay?" Pansa mengusap kepala Mili.

"Tapi aku bego banget. Padahal aku belajar mati-matian untuk olimpiade ini."
Mili mengeratkan pelukannya. Gadis anggun dengan kulit sawo matang itu merasa nyaman bersembunyi di pelukan Pansa. Sementara Pansa hanya membiarkannya.

"Itu sebabnya aku bilang kalau kamu sudah melakukan yang terbaik. Lagian ada banyak orang cerdas di dunia ini. Kalau kamu kalah bukan berarti kamu tidak cerdas. Kan pemenangnya hanya ada satu. Masa iya pemenangnya ada seribu? Enggak seru dong! Udah dong jangan nangis." Pansa mulai melepaskan pelukan Mili. Gadis yang lebih pendek darinya itu cemberut tapi menganggukkan kepala.

"Gays... aku kangen kaliaaaan!" Mili berteriak lagi. Semua memicingkan mata sambil menutup kedua telinga mereka. Benar sekali, hampir sebulan peserta yang mengikuti olimpiade berada di karantina. Latihan dengan beberapa professor yang ahli di bidangnya. Terhitung sudah dua bulan mereka tidak bertemu dan berkumpul bersama.

Pansa duduk di dekat Lim di karpet di depan meja yang sudah berisi penuh dengan makanan dan minuman. Sementara Ben duduk di sofa dengan kaki yang terbuka; di antara kakinya ada Lim yang bersandar di kaki sofa. Ben sesekali mengelus kepala laki-laki itu. Sedangkan Re dan Mili tiduran di karpet yang sama menghadap ke televisi yang tidak menyala.

"Mili, keluargamu bagaimana?"
Hati-hati Lim bertanya.

Mili diam sebentar, meletakkan ponselnya ke samping tubuhnya, kemudian melipat kedua tangannya dan meletakkannya di atas perut. Dia menghela napas dalam.

"Uang jajanku di-stop selama dua bulan ke depan. Aku sangat sedih. Ayo hibur aku! nanti aku traktir pizza dan soda!"

Pansa memutar bola matanya malas.
"Apa yang membuatmu sedih kalau begitu? Dasar!!!" Lim melempar bantal sofa ke arah Mili. Mili terkekeh.

"Ya kan kalau uang jajanku enggak di-stop kita bisa makan enak tiap hari dan aku yang traktir," jelas Mili. "Eh tapi, uangku masih banyak sih jadi masih bisa traktir kalian setiap hari selama setahun juga bisa!" Mili menggerakkan alisnya ke atas berulang kali sambil tersenyum.

"GUE SUMPAHIN KAMU JADI ORANG KAYA TERUS!" seru Lim. Re tersenyum. Ben dan Pansa tertawa.

"Sombong banget nih bocah!" Pansa menambahkan.

"Kalian gimana akhirnya bisa jadian?" tanya Mili sambil mengubah posisinya menjadi tengkurap. Kedua tangannya memegang kedua pipinya menumpu kepalanya agar bisa tegak, memandangi Lim dan Ben secara bergantian.

"Um..." Pipi kedua anak laki-laki itu memerah. Mereka sesekali membuang muka dan tersenyum penuh arti.

"Aku penasaran jawaban Ben. Bagaimana kamu bisa menyukai tukang gosip seperti Lim ini?" lanjut Mili. Pansa juga ingin tahu dan memerhatikan dengan seksama.

TRAIN GAZINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang