Pansa, Tolong!

515 81 17
                                    

"LOVE, aku ingin pergi menemui ibuku. Aku nggak bisa anter kamu pulang," ucap Pansa sambil membuka buku tebal miliknya, menghindari mata Love. Dia sama sekali tidak menoleh atau menyandarkan kepalanya ke kepala gadis mungil itu seperti biasa.

"Apakah aku boleh ikut? Aku ingin ikut. Aku ingin pergi kemana pun kamu pergi. Aku juga ingin bertemu dengan ibumu," balas Love dengan senyum cerahnya. Gadis bermata cokelat itu sesekali meremas rok sekolahnya.

Pansa tidak membalas. Mengapa? Mengapa dia tidak menolak saja? Mengapa dia tidak bisa mengatakan tidak pada gadis itu? Atas semua yang sudah kamu lakukan, seberapa besar lagi rasa sakit yang harus kutanggung, Love untuk bisa terus mencintaimu? Pansa memegang erat pinggiran bukunya. Pandangannya kosong, mengawang. Kereta terus berjalan. Tidak ada percakapan lain seperti biasa. Rasanya sangat canggung. Love diam, demikian juga gadis jangkung di sampingnya.

-

"Berhenti sebentar, Sa." Gadis mungil itu menepuk pundak Pansa, memintanya berhenti. Pansa menurut, membawa motornya ke pinggir. Gadis mungil itu turun terburu-buru dan menghilang di sebuah toko roti. Caranya berjalan masih kaku. Apa gadis itu sangat kesakitan? Pansa sangat khawatir, tetapi dia tidak ingin tahu terlalu banyak. Dia duduk di motor menunggu. Beberapa menit setelahnya gadis yang ditunggunya membawa kamtong berisi kotak kue. Kemudian dia naik dan menepuk pundak Pansa lagi memintanya melajukan motor.

"Aku tidak sabar ingin bertemu dengan ibumu," ujar Love penuh senyum.

"Kamu lebih bersemangat daripada aku, anaknya," balas Pansa sedikit tersenyum.

Love menyenderkan kepalanya dan sebelah tangannya yang kosong dia biarkan memeluk pinggang Pansa. Punggung Pansa terasa berat, tetapi hatinya terasa ringan. Ia mulai melebarkan senyumnya.

"Aku juga anaknya, Pansa," jawab Love tersenyum lebar.

Kening Pansa berkerut tetapi pipinya memerah.

"Apa... maksudmu...?" Pansa tergagap.
Tolong jangan angkat aku tinggi ke langit lalu mengempaskanku kasar turun ke  bumi.

Mereka sampai di kantor tahanan di mana ibu Pansa berada. Love mengernyitkan kening, meminta penjelasan.

"Nanti aku jelaskan padamu, ayo masuk." Pansa berjalan di depan yang diikuti Love.

Mereka sudah duduk di ruang jenguk, menunggu ibu Pansa keluar setelah mengikuti prosedur untuk menjenguk.

Freya berjalan, memutar bola matanya dengan malas. Siapa lagi yang akan mengunjunginya kalau bukan putrinya dan itu membuatnya merasa muak. Dia hanya ingin hidup tenang dalam penjara tanpa diusik. Tetapi dia akhirnya merasa lega melihat Pansa, dia merasa anak itu terlihat baik-baik saja. Freya sedikit terusik dengan gadis di sebelah Pansa. Apakah anak itu ingin mempermalukan diri sendiri dengan memberitahu teman sekolahnya tentang dirinya? Pikirnya.

Gadis mungil itu berdiri ketika Freya mulai mendekat, memberi wanita dewasa itu senyuman cerah, dan mengulurkan tangannya ketika Freya sudah sampai di depan meja. Freya menoleh ke arah putrinya meminta penjelasan. Namun, Pansa tersenyum canggung, tidak tahu bagaimana menjelaskan. Mereka tidak sedekat itu untuk berbicara tentang segalanya seperti ibu dan anak. Freya menoleh kembali ke arah gadis mungil di depannya.

"Halo, tante," sapa Love dengan suara manis. Pansa sangat terhibur mendengarnya.

"Freya," jawab Freya tanpa tersenyum, memperlihatkan wajah galaknya.

"Love, tante. Saya Love." Freya membalas jabatan tangan itu dan melepaskannya buru-buru. Ia duduk dan diikuti oleh Pansa dan Love.

Love menyodorkan kue yang dia bawa. "Saya nggak tahu tante suka kue apa, tapi kata mba tokonya yang cantik ini kue yang paling enak." Love tersenyum manis.

TRAIN GAZINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang