PINTU kamar ditutup pelan. Kamarnya hening, karena memang hanya dihuni oleh satu orang. Namun, tempat tinggalnya yang sekarang lebih kecil dari tempat tinggalnya yang sebelumnya. Itu baik baginya. Ruang yang luas terkadang memberi perasaan yang kosong dan menyadari betapa... tidak enaknya merasa sendirian. Gadis canggung itu menyalakan shower, membiarkan tubuhnya diguyur. Mulutnya terbuka untuk mengambil sedikit napas. Sesekali ia pijat lembut kepalanya yang terasa berat. Entah sejak kapan dia merasa kepalanya seperti itu.
Pansa mengingat lagi kejadian sore tadi. Apakah perasaanku benar-benar berbalas? Pikirnya. Tidak ada satu tindakan yang dilakukan gadis mungil kesukaannya itu cukup masuk akal untuk dia percayai. Ia hanya merasa bahwa Love, gadis kesukaannya memiliki perasaan yang sama dengannya setiap mereka berinteraksi. Ciuman, tatapan tulus, pelukan hangat. Ia dengan beraninya menganggap itu cinta. Itu perasaan yang sama seperti dirinya. Namun, fakta yang harus lagi dirinya sadari adalah bahwa gadis bermata indah itu bukan miliknya. Lagi pula, dengan mesranya pacar dari gadis kesayangannya kemarin menggandeng tangannya dan mengajaknya menginap.
Pansa ingin sekali bangun dari kenyataan--bahwa yang dia rasakan selama ini tidak pernah berbalas. Bahwa Love mungkin hanya sekadar kasihan padanya. Bahwa gadis itu sebenarnya menciumnya hanya untuk menghibur dirinya. Bahwa mungkin saja gadis kesukaannya itu hanya mencintainya secara platonis. Bukan cinta sebagai pasangan, sebagai seseorang yang ingin kamu ajak bersama seumur hidup, cinta di mana kamu bisa berbagi apa pun bersama mereka. Dan Pansa tidak akan pernah menyalahkan Love atas perasaannya. Memang dirinya yang sedang jatuh cinta. Memang selayaknya orang yang jatuh cinta, bersama dengan kekasihnya sudah amat berharga. Bahwa mereka tidak perlu berusaha, mereka sudah memenangkan hati kita. Anggap saja itu semua ilusi. Hal-hal yang diinginkan olehnya. Tetapi, gadis mungil itu tidak sedikit pun memberikannya jeda untuk tahu diri. Mengatakan cinta padanya dengan tatapan yang sungguh tidak akan bisa ia tolak. Mencium bibirnya dengan lebih lembut, seolah benar cinta selalu ada di sana, mewakili seluruh perasaannya. Tetapi bagaimana Pansa bisa percaya? Bagaimana bisa dia percaya?
-
Pansa berbaring di atas kasurnya, menghadap langit-langit kamarnya yang sudah hitam pekat. Entah apa yang bisa dilihat di sana, tetapi dia menatapnya.
-
"Ayo saling mencintai!" Gadis mungil itu menatap memohon pada gadis jangkung di depannya.
"Aku nggak bisa, Love, maaf!" Gadis yang lebih tinggi melepaskan pelukan.
"Apa aku nggak punya kesempatan sama sekali?"
"Love, kamu sadar nggak sih sama perasaan kamu sendiri? Kamu yakin itu perasaan cinta?"
"Yakin!" Gadis mungil itu menatapnya dengan halus.
"Menginginkan seseorang karena kamu mencintainya berbeda dengan kamu takut kesepian, Love."
"Aku nggak ngerasa kesepian. Ya! Aku ngerasa kesepian kalau kamu nggak ada di dekatku, Pansa. Mohon pengertiannya. Aku bisa mati karena kangen kamu terus."
"Kamu baru putus sama Han, gimana bisa kamu memutuskan secepat itu untuk memilih bersama orang lain?" Pansa mengeluh.
"Aku hanya ingin bersama orang yang kucintai. Hanya itu. Aku hanya mau sama kamu sekarang!" Gadis yang lebih muda berkata dengan yakin.
"Lalu kamu akan ninggalin aku kalau kamu jatuh cinta dengan orang lain?"
Gadis berambut cokelat itu diam.
"Kamu egois sekali, Love. Apa kamu merasa bahwa kamu selalu bisa mengambil dan membuang orang dengan mudah?"
Mata Pansa bergantian menatap mata kanan dan kiri gadis yang lebih kecil di depannya.
Gadis mungil itu hanya diam. Tubuh Pansa berbalik dan melangkah menjauh dari Love.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAIN GAZING
FanfictionIf you know you would have to endure pain in the end, would you still want to love? #milklove Milk dan Love written by Anaheim