Nineteen: Angry?

174 7 1
                                    

"Hanya.. it's me"

Hana mematung ditempatnya, matanya terbelalak mendengar suara yang sangat tidak asing baginya. Ia adalah orang yang mengisi hari-harinya selama tujuh tahun terakhir ini. Dengan sedikit gemetar Hana mencoba membuka suaranya.

"Kaivan.."

Terdengar helaan nafas lega di seberang telepon, suaranya kembali terdengar.

"Hanya.. kenapa kamu kabur lalu kembali ke negara mu? Apa kau tidak tau jika saya-"

"Bagaimana.. kau bisa menghubungi ku lagi? Dari mana kamu mendapatkan nomor ini?" Hana memotong ucapan Kaivan, tangannya terkepal seakan-akan emosinya kian memuncak.

"Hanya.. ini bukan hal yang paling penting bukan? Saya akan terbang ke negara A nanti malam, ingatlah untuk mengirimkan alamat rumahmu"

Hana berdecak pelan menghela nafas berat "Apa anda masih harus bertanya? Saya tidak ingin bertemu denganmu jadi tidak perlu repot-repot datang kemari" Ucapnya tegas.

Walaupun perasaannya terasa campur aduk ia tidak akan menjadi seperti Hana yang dulu lagi. Jika yang Kaivan inginkan adalah seseorang yang patuh, maka dia siap jika harus menjadi seorang pemberontak sekalipun.

"Kau.." Kembali terdengar suara helaan nafas dari seberang telepon "Hanya.. ada apa denganmu? Setelah kabur membawa Theo, apa kau tidak berniat kembali?"

Hana tersenyum simpul lalu menjawab dengan percaya diri "Sure, aku tidak akan kembali walau kau memaksaku sekalipun"

Lagi-lagi kembali terdengar helaan nafas berat dari seberang telepon "Kenapa? Apa kau kabur karena saya melarangmu melukis untuk sementara waktu? Ini demi kebaikan kalian, saya sudah mempertimbangkan semuanya apalagi ini demi keselamatan Clara, anak-anak dan k-"

Hana berdecak lalu kembali memotong ucapan Kaivan  "Maaf tuan Kaivan, saya tidak akan berbicara pada orang yang hanya memandang saya sebelah mata. Tolong jangan pernah hubungi saya lagi"

Tutt..

Telepon terputus, Hana memutuskan panggilan mereka secara sepihak. Dengan terburu-buru ia mematikan ponselnya agar Kaivan tidak dapat kembali meneleponnya.

Tin.. tin..

Suara klakson mobil terdengar, sebuah mobil Civic turbo berwarna putih terpakir rapi di depan Hana. Saat kaca terbuka Elvano tersenyum pada Hana lalu menyuruhnya segera masuk ke dalam mobil.

Saat memasuki mobil, Hana menghela nafasnya pelan sembari memasang selt bet. Elvano menatap Hana bingung.

"Hm? Kau kenapa?" Tanyanya, ia mulai mengendarai mobilnya menuju apartemen.

"Gapapa" Jawab Hana singkat, ia memasukan ponselnya ke dalam tas dan mulai menatap ke arah luar jendela mobil.

Elvano menyirit melihat tingkah aneh dari temannya "Bohong, jelas-jelas tercetak jelas dari wajahmu kau lagi ga baik-baik aja" Elvano menatap ekspresi Hana sesekali sembari fokus menyetir.

"Aku-"

"Mom? Are you okay?" Theo yang duduk di kursi tengah memunculkan kepalanya melihat wajah sang mama yang duduk di kursi depan dengan lekat.

"A-ah Theo, i'm fine okay. Theo sedang makan apa?" Hana mencoba untuk mengalihkan perhatian sang putra.

"Yogurt, om El te-raktir Theo" Ucapnya sedikit terbata ketika menyebut kosakata baru.

"Traktir?" Hana tertawa kecil lalu mengelus rambut Theo lembut "Perkembangan bahasa mu semakin baik hum" Hana mencubit pelan pipi Theo gemas .

"Theo, mau mendengarkan sebuah musik? Om El have recommendation for you" Elvano mengulurkan sebuah headphone pada Theo.

Divorce with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang