Maya, perempuan bergaya modis dengan stiletto hitam. Di bahunya tergantung sebuah tas kulit dengan merek terkenal. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit putih bersih dan rambut hitam sebahu. Wajahnya tampak berpoles riasan. Bulu mata palsu, lipstik merah menyala dan alis mata yang tertata rapi membuatnya terlihat cantik dan elegan. Tak ketinggalan, kacamata hitam yang bertengger di atas kepalanya.
Ia melangkah masuk ke dalam rumah sambil meggandeng ibunya. Sementara di belakangnya, Pak Gunawan berjalan sambil menarik sebuah koper. Mereka baru saja tiba dari bandara.
Langkahnya begitu anggun senada dengan penampilannya. Ia terlihat seperti perempuan yang menjunjung tinggi gaya dan penampilan. Berbeda jauh dengan Yuri, yang suka berpenampilan sederhana dan polos. Meski penampilan mereka berbeda, mata dan hidung mereka sama persis.
Maya kini menatap setiap sudut rumahnya. Tak banyak yang berubah dari rumahnya setelah ia pergi selama hampir tiga tahun ke luar negeri. Warna dinding rumah, letak sofa dan perabotan masih sama. Hal yang baru adalah keberadaan kebun bunga mawar di samping rumah.
"Sejak kapan ibu punya kebun bunga mawar di samping rumah," tanyanya penasaran. Bu Gunawan tersenyum lalu mengajak putrinya duduk di sofa.
"Sejak kamu pergi ke Belanda. Selain biar ada kesibukan, ibu juga ingin buat kebun di samping kamar adik kamu. Biar dia tidak bosan melukis atau menyegarkan pikirannya," jelas Bu Gunawan.
Maya mengangguk mengerti. "Oh iya, Yuri dimana, Bu?"
"Tadi pagi pergi ke kampus. Dia kan lagi di semester akhir. Katanya banyak tugas," jelas Bu Gunawan sambil tersenyum.
Maya kembali mengangguk. Tatapannya tampak kecewa. Tadinya ia berharap bertemu dengan Yuri di bandara. Namun nyatanya, ia juga tidak bertemu dengan Yuri begitu sampai rumah. Pesan yang ia kirim dari kemarin juga tidak dibalas oleh Yuri.
"Bentar lagi dia juga pulang," bisik Bu Gunawan menenangkan putrinya.
"Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu. Mau makan sekarang, Nak?" tanya Pak Gunawan sembari mengambil posisi di sebelah Maya.
"Nanti aja, Pak. Tunggu Yuri pulang saja, biar kita makan bersama," jawab Maya.
"Nggak perlu menunggu Yuri. Kita nggak tahu dia pulang jam berapa. Bisa saja dia nggak pulang," ungkap Pak Gunawan dengan tegas.
Maya refleks menoleh ke arah ibunya. Perkataan ibu dan bapaknya jelas bertolak belakang. Apa yang ia takutkan sepertinya benar. Hubungan Yuri dan bapaknya masih tidak akur seperti dulu.
"Nanti saja, Pak. Maya belum lapar. Tadi sempat makan di bandara," ucap Maya akhirnya.
"Iya, nanti saja," timpal Bu Gunawan cepat.
"Oh iya, Maya ada bawa oleh-oleh untuk bapak sama ibu." Maya menggeser kopernya lebih dekat.
"Nggak perlu repot-repot, sayang. Kamu pulang saja sudah lebih dari cukup," ucap Bu Gunawan.
"Iya, Nak. Asal kamu sehat dan semua urusanmu lancar, bapak sama ibu sudah sangat senang. Kalaupun kamu ada rezeki lebih, kami akan lebih senang bila kamu simpan untuk dirimu sendiri," tutur Pak Gunawan yang juga diiyakan oleh istrinya.
"Bapak dan ibu tenang saja. Maya nggak repot sama sekali. Maya justru senang bila bisa memberikan sesuatu untuk bapak dan ibu," ucap Maya sambil mengeluarkan satu persatu oleh-oleh dari dalam koper. Mulai dari pakaian, topi, tas dan juga makanan.
Saat sedang asyik membongkar oleh-oleh, suara pintu terdengar diketuk bersamaan dengan masuknya seseorang ke dalam rumah. Awalnya Maya berharap itu adalah Yuri, namun ternyata bukan.
"Nah, ini dia yang bapak ceritakan tadi di mobil. Namanya dokter Andrea. Dia yang tinggal di kamar kamu sekarang," ucap Pak Gunawan dengan semangat. Ia mempersilahkan Andrea masuk dan duduk di sebelahnya.
"Perkenalkan saya Maya. Anak sulung keluarga Gunawan." Maya tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya.
"Riandrea Sapta Nugraha. Biasa dipanggil Andrea," balas Andrea sambil menjabat tangan Maya. "Saya minta maaf tadi tidak ada orang di rumah. Saya tadi pergi ke swalayan sebentar."
"Nggak apa-apa, dok. Malahan kami kira dokter pergi ke rumah sakit ada urusan," jelas Pak Gunawan.
"Oh iya, tadi Yuri sempat pulang ke rumah?" tanya Bu Gunawan kepada Andrea.
Andrea menggeleng. "Nggak, Tante"
Bu Gunawan menghela napas berat. Maya menoleh ke ibunya dan refleks menyentuh punggung tangan ibunya.
"Ini makanan semua?" tanya Pak Gunawan mengalihkan pembicaraan. Ia lalu menyentuh oleh-oleh yang terletak di meja.
"Iya Pak. Ini cokelat dan biskuit yang terkenal disana. Rasanya enak. Bapak pasti suka," jelas Maya sambil membuka sebungkus biskuit.
"Tentu saja, bapak pasti suka. Cocok sekali sambil kita bercerita," ucap Pak Gunawan sambil mengambil sekeping biskuit.
Mereka lalu larut dalam pembicaraan yang santai dan hangat. Maya bercerita banyak tentang kehidupannya selama di luar negeri. Mulai dari sekolah, kegiatan magang, sampai rencananya ke depan. Mereka mendengarkan cerita Maya dengan seksama, terutama Pak Gunawan yang tak berhenti memuji dan membanggakannya.
Andrea bisa merasakan perbedaan sikap Pak Gunawan terhadap Maya dan Yuri. Maya memang jauh berbeda dengan Yuri baik dalam hal penampilan dan juga cara bicaranya. Bak langit dan bumi. Maya memang terlihat cerdas, tapi Yuri juga sangat berbakat dalam hal melukis. Namun selama dirinya disini, Pak Gunawan tidak pernah memuji Yuri seperti dia memuji Maya. Dalam hati, Andrea mulai menerka-nerka.
"Sepertinya kita sudah bisa makan malam," ucap Pak Gunawan di akhir obrolan. "Kalau begitu, Maya beres-beres dulu ya, Bu," ujar Maya.
"Sok silahkan. Biar ibu memanaskan lauk dulu," ucap Bu Gunawan.
Maya lalu masuk ke dalam kamar. Sementara Bu Gunawan beranjak ke dapur. Sesekali ia menoleh ke pintu depan, berharap Yuri datang. Namun sampai selesai makan malam, Yuri tak kunjung pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Next Window
General Fiction"Saya itu laki-laki dan kamu perempuan. Kalau tidak ada ikatan pernikahan, kita tidak bisa tidur berdua sekamar. Kamu nggak takut saya melakukan hal-hal aneh?" Yuri menggeleng cepat. "Gue percaya sama loe," ujarnya masih sambil mengunyah makanan. "...