23. Petir di Siang Bolong

54 5 0
                                    

"Shit!" Yuri kembali mengumpat untuk yang kesekian kalinya.

Sejak tadi ia melakukan tindakan ceroboh. Namun kali ini lebih parah, ia tak sengaja menyenggol air cucian kuas di meja. Kini rumput jepang di bawah kakinya tampak kotor oleh air tersebut.

"Sorry banget, Rah. Gue nggak sengaja," ucapnya sambil mengibaskan celemeknya yang juga ikut terkena tumpahan air.

Farah menoleh dari kayu yang tengah ia ukir. "Nggak apa, Yur. Nanti Mang Eman yang bereskan."

Yuri melepaskan celemeknya lalu merebahkan dirinya di sebuah bantal santai.

Ia menatap lukisannya yang baru setengah. Ia lalu mendengus kesal. Matanya kini beralih menatap dedaunan bungai tabebuya yang bergerak di tiup angin.

"Loe lagi mikirin apa sih? Kayaknya dari tadi loe nggak fokus melukis," komentar Farah yang datang menghampiri Yuri.

Farah ikut merebahkan dirinya di sebelah Yuri. Pandangannya mengikuti Yuri yang masih menatap bunga tebebuya yang bergerak di tiup angin.

Bunga Tabebuya, bunga kesukaan orangtuanya yang ditanam di sekeliling taman belakang rumahnya.

Banyak kenangan Farah dan orangtuanya di taman ini. Ia dan papanya pernah bermain hujan-hujanan disini. Lari ke sana kemari sambil basah-basahan sampai akhirnya mamanya berteriak memanggil mereka dari pintu.

Tapi itu dulu, sebelum kedua orangtuanya sibuk bekerja mengembangkan bisnis mereka. Mereka bahkan tidak tahu kalau bunga tabebuya kesukaan mereka sudah mekar dua kali tahun ini.

"Gue juga nggak tahu," jawab Yuri asal.

"Mulai dari salah warna, kuas jatuh sampai air tumpah. Kalau loe sudah lelah, jangan dipaksain Yur. Istrirahat dulu."

"Lukisan ini harus siap besok!"

"Yaelah. Jangan dipaksa Yur. Istrahat satu jam juga nggak akan jadi masalah deh. Daripada loe nggak fokus."

"Loe mah enak, Rah. Apa-apa bisa minta. Lah gue, kalau lukisan ini nggak berhasil terjual, gue nggak punya uang."

"Loe masih jaga jarak sama teh Maya?" tanya Farah sambil mengaduk minuman es cokelatnya.

Yuri mengangguk. "Gue bahkan diusir dari rumah,"

"Diusir? Gara-gara apa, Yur?"

"Rokok gue ketahuan di kamar,"

"Wah, parah! Teteh loe ngadu itu," tuduh Farah.

"Apa gue bilang? Gue dah feeling, kalau dia datang, perang dunia ketiga akan pecah. "

"Jadi loe tidur dimana selama gue pergi?"

Yuri tampak berpikir. Ia tak mungkin bilang tidur di kamar Andrea.

"Di Green doors. Penginapan dekat kampus," ucap Yuri yang tentu saja bohong.

"Uang tabungan loe pasti habis. Tiga malam kan loe disana?" tebak Farah.

Yuri mengangguk yang tentu saja bohong.

"Gara-gara loe kelamaan di puncak!" protes Yuri.

"Ya sorry. Habis nanggung," jawab Farah.

"Nanggung apaan?"

"Nanggung sudah di puncak. Kami seru-seruan disana. Loe nggak nonton sih live gue di instagram."

Yuri mendengus. "Gue udah kebayang sih kalian gimana."

"Alex sibuk nanyain loe. Tapi dia bawa cewek ke sana. Katanya sih gebetannya."

"Baguslah kalau begitu. Semoga mereka segera jadian." ucap Yuri santai.

"Mau?" ujar Farah sambil menyodorkan sebungkus rokok. Dengan senang hati, Yuri mengambil sebatang. Sejujurnya uangnya sudah menipis untuk beli rokok. Sudah dua hari ini juga ia tidak merokok.

"Neng, handphonenya berdering," ujar Bik Yaya sembari mengantar handphone Yuri yang tadi sedang mengisi daya di dapur.

"Oh iya, nuhun bik," ucap Yuri sambil melihat handphonenya.

Tiga panggilan tak terjawab dari nomor yang sama, "Penolong sesama".

"Siapa tuh? Malaikat?" tanya Farah sambil nyengir begitu melirik layar handphonenya.

Belum sempat Yuri menjawab, handphonenya kembali berdering. Tanpa basa-basi lagi, Yuri mengarahkan handphone ke telinganya.

"Kamu lagi dimana, Yur?" tanya Andrea dari seberang telepon. Suara Andrea terdengar panik.

"Lagi di rumah Farah. Mengapa?" tanya Yuri bingung. Tidak biasanya Andrea terdengar panik seperti itu.

"Teh Maya masuk rumah sakit. Kondisinya lagi kritis. Kami semua lagi ada di rumah sakit."

Yuri tersentak kaget. Ia bak disambar petir di siang bolong.

"Ma.. Maksud loe gimana? Teh Maya kenapa?" tanya Yuri tergagap.

"Nanti saya ceritakan begitu kamu tiba di rumah sakit," ujar Andrea. Samar-samar Yuri mendengar suara kedua orangtuanya yang sedang panik.

"Gue ke sana sekarang," ucap Yuri sambil langsung mematikan telpon.

"Ada apa?" tanya Farah bingung melihat wajah Yuri yang khawatir.

"Gue harus ke rumah sakit. Teh Maya kondisinya kritis," ucap Yuri sambil memasukkan handphone nya ke dalam tasnya.

"Gue antar loe ke rumah sakit. Loe bisa bahaya di jalan kalau sedang panik begini," ucap Farah yang sama terkejutnya. Mereka lalu segera bergegas menuju mobil Farah.

"Tenang, Yur. Jangan berpikiran yang macam-macam dulu," ucap Farah menenangkan Yuri yang terlihat cemas di kursi penumpang. Ia kembali menghubungi Andrea namun tidak diangkat.

"Kemarin gue jumpa sama teh Maya di UGD. Dia terlihat lemas. Tapi gue nggak peduli sama dia," ucap Yuri dengan nada bergetar. Perasaan khawatir, cemas, takut dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Bagaimana bila itu terakhir kali ia melihat Maya.

Farah sebisa mungkin menenangkan Yuri sembari fokus menyalip kendaraan lain di depannya. Beruntungnya, tak ada kemacetan yang menghalangi laju mobil mereka. Kurang lebih lima belas menit, mereka akhirnya tiba di depan rumah sakit.

"Perlu gue temani?" tanya Farah.

"Gue bisa sendiri, Rah. Makasih banyak ya," ucap Yuri.

"Gue akan tunggu di parkiran ya. Kalau loe butuh apapun kabari gue,"

"Makasih, Rah. Nanti gue cerita ya," ucap Yuri sembari keluar dari mobil.

Love Next Window Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang