18. Malam Kedua

71 5 0
                                    

"Akhirnya, gue bisa tidur nyaman. Gue juga bilang apa. Bahkan semesta mendukung gue untuk tidur di kamar loe malam ini," ucap Yuri sambil mencium selimut yang sangat ia sukai wanginya. Kedua kakinya menari-nari seperti sedang berada di antara salju.

"Ini yang terakhir!" bisik Andrea yang memunggunginya di sebelah "tembok" bantal. Berkali-kali ia merutuki dirinya yang mengizinkan Yuri tidur di kamarnya, namun berkali-kali juga peristiwa di ruang tamu terputar di pikirannya. Ia tidak tega membiarkan Yuri sendirian di luar sana. Rasa khawatir menghantuinya. Ia tidak tahu mengapa ia begitu peduli dengan gadis keras kepala dan licik tersebut. Ia bahkan menunggu Yuri di jendelanya sampai pukul dua belas malam dan merasa lega begitu melihat Yuri mengendap-endap di kebun mawar.

"Iya, besok Farah sudah pulang kok! Gue nggak akan merepotkan loe lagi," bisik Yuri. Seperti biasa, lampu di kamar di matikan, sesuai permintaan Yuri.

"Kamu nggak punya teman selain Farah?" tanya Andrea penasaran. Tubuhnya masih memunggungi Yuri, sementara Yuri menghadap ke langit-langit kamar.

"Sama loe," jawab Yuri cepat.

Andrea refleks tersenyum namun buru-buru ia sembunyikan. Ia tak percaya begitu saja Yuri menganggapnya teman. Ia yakin Yuri hanya memanfaatkannya saja.

"Sampai kapan kamu akan nginap di rumah Farah?"

"Entahlah. Gue juga nggak tahu. Mungkin sampai gue bisa menyewa kost atau beli rumah,"

"Kamu nggak sedih?" tanya Andrea hati-hati. Hari sudah berganti, namun tampaknya mereka belum ngantuk dan masih ingin bercerita.

"Sedih untuk apa? Kalau gue sedih nggak ada yang berubah kan? Gue tetap salah di mata bapak. Gue justru semakin tertantang untuk hidup sendiri dan nggak perlu dukungan mereka."

"Kamu juga salah, Yur. Pak Gunawan tentu tidak mau anak perempuannya merokok."

"Sebelum gue merokok, bapak sudah nggak suka dengan gue. Dia hanya sayang sama teh Maya."

Andrea terdiam. Yuri ada benarnya juga. Ia masih ingat bagaimana sikap Pak Gunawan memuji Maya waktu itu. Sementara terhadap Yuri, Pak Gunawan suka menyindir dan membentaknya. Tapi Pak Gunawan pasti punya alasan. Begitu juga dengan Yuri, untuk semua sifat kerasnya, ia pasti punya alasan.

"Lo nggak penasaran apa yang menyebabkan hubungan gue dan bapak seperti itu? Mengapa loe nggak pernah nanya? Loe pasti sudah merasakannya sejak pertama datang ke rumah ini kan?"

"Itu adalah hak kamu mau memberitahu atau tidak. Kalau saya bertanya, kamu bisa saja menolak. Jadi, saya menunggu kamu yang bercerita," jelas Andrea.

"Kalau sampai akhirnya gue gak mau
bercerita, loe nggak penasaran?"

"Saya akan meyakini apa yang menjadi spekulasi saya."

"Apa spekulasi loe?" tanya Yuri yang justru penasaran. Tubuhnya bergerak dan kini menghadap "tembok" pembatas. Meski remang, ia bisa melihat rambut Andrea yang membelakanginya.

"Mungkin karena Oom tidak setuju kamu menjadi pelukis," tebak Andrea.

"Analisis dokter memang tak pernah salah," puji Yuri.

Andrea berbalik dan menemukan wajah Yuri di hadapannya. Mereka kini saling bertatapan namun tidak ada rasa gugup diantara mereka. Pembahasan kali ini jauh lebih menarik dibandingkan perasaan mereka.

"Nggak harus jadi dokter, untuk bisa berhasil menebaknya," ucap Andrea.

"Oh ya?" Yuri menaikkan sebelah alisnya sebagai isyarat ia butuh penjelasan lebih lanjut.

"Semua lukisan di kamar kamu sangat bagus. Tapi nggak ada satu pun yang terpajang di ruang tamu. Oom Gunawan tadi juga menyinggung tentang pilihan seni rupa yang baginya salah," jelas Andrea. Yuri mengangguk, sebagai isyarat dia setuju dengan spekulasi Andrea.

"Sejak kecil, bapak memang suka membanding-bandingkan gue dengan teh Maya. Memang sih, teh Maya lebih rajin dan pintar dari gue. Teh Maya cepat menangkap semua mata pelajaran yang berbau eksakta, sementara gue lebih tertarik sama seni dan olahraga. Otak gue nggak nyambung kalau soal angka-angka dan hapalan. Tapi puncaknya itu saat gue memilih masuk jurusan seni rupa. Bapak marah besar."

"Saya bisa bayangkan."

"Lebih ngeri dari yang kamu lihat tadi. Gue ketahuan kabur waktu ujian masuk kedokteran. Gue diusir dari rumah. Untungnya malamnya, ibu menemukan gue di depan gang dan menyuruh gue pulang" jelas Yuri.

Andrea menyeringai lebar. "Saya nggak bisa bayangkan kamu jadi dokter," ledeknya yang teringat betapa takutnya Yuri dengan jarum suntik.

"Gue juga nggak bisa bayangkan itu," timpal Yuri sambil ikut menyeringai lebar.

"Tapi, kamu pernah menunjukkan lukisan karyamu kepada Oom?"

Yuri mengangguk. "Berakhir dengan lukisan gue di lempar ke teras rumah. Di depan Farah,"

"Lukisan kamu bagus, kok!"

"Bagus atau tidak bukan acuan bagi bapak. Ia hanya nggak suka gue jadi pelukis. Titik," tegas Yuri.

"Pasti ada alasannya kan?"

"Ada. Kakek gue dulu pelukis keliling. Kata bapak, mereka jadi melarat karena kakek sibuk melukis dan nggak mau mencoba pekerjaan lain. Karena itu dia kesal waktu gue memutuskan masuk seni rupa. Bapak terlalu takut kalau kami tidak sukses dan melarat. Baginya sukses itu kalau bekerja di kantoran, memakai seragam, berpendidikan tinggi atau lulusan universitas ternama."

Andrea memperhatikan Yuri dengan serius. Ia tak menyangka gadis di depannya ini sangat kuat dan juga berani. Ia seperti melihat seberkas cahaya di biji mata Yuri yang hitam legam.

"Kamu luar biasa, Yur. Kamu akhirnya tetap memilih menjadi pelukis meski banyak risiko yang harus kamu hadapi."

Yuri tersenyum sesaat. "Gue hanya mempertahankan apa yang gue suka. Gue hanya hidup sekali. Karena itu gue nggak mau menghabiskan seumur hidup gue melakukan hal yang nggak gue suka."

Andrea mengangguk. Ia tak bisa memungkiri bila ia terpukau dengan pesona Yuri ketika menyampaikan kalimat tersebut. Binar di mata Yuri terlihat begitu indah. Senyumnya terlihat begitu percaya diri.

"Saya yakin kamu pasti akan menjadi pelukis yang terkenal," ucap Andrea begitu saja. Senyuman Yuri semakin merekah. Senyum tulus dalam keremangan suasana kamar.

"Tolong jangan senyum seperti itu! Saya masih laki-laki disini," ledek Andrea.

"Awas saja kalau kamu berani!" ancam Yuri. "Sudah balik badan sana!"

"Stt.. jangan keras-keras. Kalau kamu ketahuan disini, saya bisa digantung sama Oom Gunawan," bisik Andrea.

"Digantung hidup-hidup di depan rumah!" timpal Yuri sebelum mereka kompak berbalik dan saling memunggungi. Dalam suasana remang, dua senyum terkembang, bak bulan sabit di luar sana.

Love Next Window Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang