Hari ini akhirnya dokter memperbolehkan Maya untuk pulang. Setelah lima hari di rawat, kondisinya sudah berangsur pulih. Ia sudah mulai banyak bercerita meskipun kata permintaan maaf yang sering ia sampaikan. Kedua orangtuanya dan Yuri tak hentinya mendukung dan menghibur dia. Mereka sudah dapat menerima kondisi kehamilan Maya.
Bagi mereka peristiwa ini menjadi cara untuk mereka bisa menjadi keluarga yang lebih baik lagi. Mereka juga sering menyampaikan kepada Maya jika bayi dalam kandungannya tidak bersalah. Bahkan Bu Gunawan mengatakan kalau ia tak sabar ingin bertemu dengan cucunya.
"Semua sudah beres? Jangan sampai ada yang ketinggalan," ucap Pak Gunawan memandang ke seluruh sudut kamar.
"Sudah, Pak. Tinggal menunggu Yuri," ucap Bu Gunawan.
Tak berselang lama pintu kamar terbuka. Yuri masuk sambil membawa beberapa lembar kertas. Di belakangnya Andrea juga ikut masuk.
"Administrasi sudah beres. Kita sudah boleh pulang sekarang," ucap Yuri bersemangat.
"Makasih ya, sayang," ucap Bu Gunawan sambil tersenyum kepada Yuri. Ia lalu berjalan menghampiri Maya dan menuntunnya untuk berdiri.
"Saya ambilkan kursi roda, teh?" tanya Yuri.
"Nggak, Yur. Teteh bisa jalan kok," ucap Maya dengan yakin. Ia menepis lembut tangan ibunya seakan menegaskan bahwa ia kuat untuk berjalan.
Tiba-tiba pintu kamar kembali terbuka. Kali ini bukan dokter atau perawat namun seorang pria berpakaian rapi yang tersenyum malu-malu. Ia tampak begitu rapi, seperti seorang pekerja kantoran. Kemeja biru muda dengan celana kain berwarna hitam. Rambutnya hitam legam dengan potongan undercut. Tubuhnya tinggi dengan kulit kuning langsat. Semua orang kini menatapnya bingung. Semua orang, kecuali Maya yang tampak terkejut.
"Nga..ngapain kamu disini?" tanya Maya tergagap karena terkejutnya. Ia hampir saja jatuh kalau tidak berpegangan pada kursi yang ada di dekatnya.
"Dia orangnya?" tanya Pak Gunawan sembari melihat pria itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pak Gunawan menatap tajam pria itu dan Maya bergantian, berharap menemukan jawaban dari pertanyaannya segera. Maya terpaku di tempatnya. Ia terlihat berusaha mengatur napasnya yang tidak teratur. Tanpa bertanya lagi, Pak Gunawan berjalan mendekati pria yang masih berdiri di depan pintu.
"Maafkan saya, Oom."
Plak!!
Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi pria tersebut. Yuri dan Andrea kompak meringis. Sementara Bu Gunawan berusaha menenangkan Maya yang kini terisak.
"Nama saya Cakrawala, Om. Saya pacar Maya Oom."
Satu tamparan lagi mendarat tanpa perlawanan. Tidak tampak raut kesakitan di wajah Cakrawala, melainkan raut rasa bersalah.
"Maafkan saya Oom. Saya sudah membuat putri Oom seperti ini.. "
Belum selesai Cakrawala berbicara, tangan Pak Gunawan kembali terangkat ke udara.
"Saya siap mendapat tamparan berkali-kali, asalkan Oom dan keluarga bisa memaafkan saya," ucapnya yang membuat gerakan tangan Pak Gunawan terhenti di udara. Buru-buru Yuri menghampiri Pak Gunawan. Dengan lembut ia menurunkan tangan bapaknya.
"Bapak tenang dulu ya. Kita dengarkan penjelasannya dulu," bisik Yuri."Maya, maafkan saya. Saya waktu itu panik dan takut. Saya belum siap untuk menjadi orangtua. Satu-satunya hal yang terpikirkan saat itu hanyalah aborsi. Setelah kamu pergi, saya merasa bersalah dan menyesal telah meminta kamu melakukannya," ucap Cakrawala sambil menatap Maya yang terisak sambil memegang perutnya.
"Maya sampai mau bunuh diri karena kamu!" seru Pak Gunawan dengan geram.
"Saya tahu Oom. Karena itu saya sangat menyesal. Saya sangat sayang kepada Maya," ucapnya lagi dengan nada bermohon.
"Jangan bicara sayang, kalau kamu tidak mau tanggung jawab!" hardik Pak Gunawan.
"Sudah Pak. Jangan teriak-teriak, kita masih di rumah sakit," ujar Bu Gunawan menenangkan.
"Om dan Tante, saya mohon kasih saya waktu bicara dengan Maya," pinta Cakrawala dengan kedua tangan di depan dadanya.
Semua mata kini tertuju kepada Maya yang kini duduk di tepi tempat tidur. Ia masih terisak dengan kepala menunduk. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.
"Kita keluar dulu, Pak. Biarkan putri kita menyelesaikan masalah ini," ajak Bu Gunawan.
"Kita tunggu di luar, Pak," timpal Yuri yang setuju dengan ibunya.
"Awas kalau kamu macam-macam," ancam Pak Gunawan sambil menatap tajam Cakra. Mereka lalu berjalan keluar kamar, meninggalkan Maya dan Cakrawala di kamar.
Selama mereka berdua di dalam, Pak Gunawan tak henti berjalan mondar-mandir sambil berulang kali mengintip dari kaca di pintu. Cukup lama mereka berdua ada di dalam, sampai akhirnya Yuri ikut mengintip bersama Pak Gunawan dari kaca pintu. Sebuah senyuman terukir di wajah mereka begitu melihat Cakrawala dan Maya berpelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Next Window
General Fiction"Saya itu laki-laki dan kamu perempuan. Kalau tidak ada ikatan pernikahan, kita tidak bisa tidur berdua sekamar. Kamu nggak takut saya melakukan hal-hal aneh?" Yuri menggeleng cepat. "Gue percaya sama loe," ujarnya masih sambil mengunyah makanan. "...