BAGIAN 24

76 5 0
                                    

Yuhuuyy... Author balik lagi dengan bab baru, moga suka yaa sama kelanjutannya🫵🏻❤️🤸🏻‍♀️

Happy reading

Serra terdiam sesaat lalu menarik nafas dalam-dalam." Arura itu singkatan dari nama ku dan Arun, laki-laki yang pertama kali kusukai,"jawaban Serra membuat ekspresi Axel berubah datar, sikapnya berubah dingin.

"Arun temanmu yang meninggal karena kangker? Karena apa kau menyukainya?" Axel kembali melayangkan pertanyaan pada Serra, menatapnya penuh tanya. Bagaimana bisa gadis itu tetap mencintai sosok lelaki yang bahkan sudah tidak ada di dunia ini? apa mungkin itu alasan Serra tak ingin menerima perasaan cintanya? Apa masa lalu masih menjadi pemenang di hatinya?

"Karena dia laki-laki yang kuat dan hebat, aku menyukai senyum dan tawanya, aku menyukai sikapnya yang tak pernah memperlihatkan kalau dia benar-benar sakit," perkataan Serra membuat Axel akhirnya benar-benar bungkam, terlihat bahwa Serra masih sangat mencintai Arun.

"Ouh begitu."

"Kata orang-orang jika seseorang sudah pergi dari dunia ini, akan sulit mengingat suaranya," Serra hanya terdiam saat Axel mengucapkan kalimat itu, ia kembali menoleh menatap keluar jendela.

"Tapi suara Arun sekarang persis seperti suaramu, Xel. Bagaimana aku bisa melupakan sosoknya," batin Serra, tutur lembut lelaki yang ia sukai sekarang ada pada Axel.

Serra hanya perlu membuka hatinya untuk menerima Axel.

Sesampainya di kampus, sudah ada Alen yang menunggu Serra di parkiran. Namun raut wajahnya berubah ketika melihat gadis itu turun dari mobil Axel.

Biasanya Alen tak memantau Serra secara langsung, karena GPS yang ia pasang di kendaraaan gadis itu hilang.

Alen berdecak kesal."Sialan! Bagaimana bisa Serra datang satu mobil dengan Axel? Dan warna baju mereka sangat serasi seperti seorang pasangan," Alen mengepal kuat tangannya, berusaha menahan amarah sebelum menghampiri Serra.

"Selamat pagi Serra," sapa Alen yang di sambut oleh Axel dengan tatapan tajam, lelaki itu segera menggenggam pergelangan tangan Serra cukup kuat sekaligus pamer kepada Alen yang hanya bisa menatap Serra namun tak pernah berani menyentuhnya.

"Ada perlu apa? Penting? Kalo nggak penting entahlah," ucap Axel ketus, Alen bagai budak dibuat olehnya.

"Santai, saya cuma mau ambil sapu tangan saya dari Serra,"jelas Alen dengan senyum miring merasa menang.

Mendengar itu Serra langsung mengeluarkan sapu tangan Axel yang sudah ia cuci semalam."Oh iya, ini. Terimakasih kasih sudah di pinjamkan," Serra tersenyum manis menatap Alen. Panas Xel? Kipas.

"Terimakasih juga sudah mengkhawatirkan kesehatan saya semalam, saya tidak menyangka kamu bisa secekatan itu mengecek suhu tubuh di kening saya," ucapan Alen membuat Axel tersenyum smirk.

"Ah, biasa Saja. Hanya kepedulian sesama manusia."

"Iya sama-sama, lain kali kalo nggak enak badan menepi saja sebentar," ucap Serra dengan polosnya, padahal kedua lelaki yang ada di sampingnya sedang berseteru.

"Sudah selesai,kan? Ayo ke kelas," Axel menarik paksa tangan Serra, walau masih menatap Alen dengan tatapan tajam bak siap mencabik-cabiknya.

"Aku duluan Alen…," Serra dan Alen memang tidak seumuran, tetapi Alen selalu menolak jika di panggil dengan sebutan” kak Alen” atau semacamnya.

Saat sudah di depan kelas Serra, lelaki tampan itu sedikit merapihkan rambut Serra dan sebaliknya, Serra juga ikut merapihkan rambut dan kerah baju Axel.

Menampilkan pemandangan yang manis, jika orang awam yang melihat mereka akan mengira keduanya adalah pasangan.

"Hm, ini rumah pendidikan. Bukan rumah tangga,"goda Sena yang tiba-tiba datang menghampiri Serra.

Sena gatyarti, gadis bertubuh semok dengan tinggi 158cm. Berkulit putih serta rambut sebahu berwarna merah ceri, tampilan gadis itu tak bedah jauh dengan Serra, Menyukai dress-dress pendek berwarna soft.

"Hei Sena, jaga Serra ya?"pinta Axel lalu tersenyum manis menatap Sena.

"Siap Pak ketua, saya akan jaga ibu ketua dengan baik,"ucapan Sena membuat Axel tertawa kecil berjalan menuju kelasnya yang ada di lantai tiga.

"Serra, love you," teriak Axel tak tahu malu, apa itu malu?

"Xel... Malu-maluin banget!"

"Pak ketua bucin banget, ibu ketuanya mati rasa," ucapan Sena membuat Serra melayangkan tatapan sinis.

"Bersyanda, bersyanda."

"Kamu jadi ikut ke pesta Axel, kan?"tanya Sena.

"Pastilah, pulang kuliah aku mau langsung cari dress bersama-"belum sempat Serra melanjutkan kalimatnya, Sena langsung memotongnya. Ia sudah tahu nama siapa yang akan di sebutkan gadis itu, sudah tercatat jelas dalam memorinya.

"Axel! Sudah pastilah, siapa lagi kalau bukan pacar bayangan mu itu. Kenapa kau tidak menjadikannya pacar saja, kalau aku jadi kau, sudah ku lamar Axel sejak umur 5 tahun bersamanya.”

"Kenapa sialan itu masih terlihat baik-baik saja!? Apa berita itu tidak menghancurkan bisnis keluarganya!?" Alen terus bergumam, bagiamana bisa berita palsu itu tidak membuat Axel goyah, Minimal lelaki itu terlihat lesu atau bahkan was-was keluarganya akan bangkrut.

Setelah jam kuliahnya usai, Axel tidak langsung menemui Serra. Lelaki tampan itu pergi untuk menemui Alen, ada sesuatu yang harus ia tanyakan pada lelaki tampan itu.

"Ini kalau aku tidak kasi kabar, pasti langsung pulang," Axel segera mengambil ponselnya dari saku celana, mengirimkan pesan pada gadis itu agar tetap menunggunya.

Axel: jika kau tidak mendapati aku di depan kelasmu, langsung ke mobil saja, oke?

Serra: iya, mau kemana, sih? Dosennya ngasih tugasnya banyak, ya? Susah?

Axel: tidak sih, lebih susah dapat hati kamu.

Serra: gak nyerah-nyerah ya, kamu^-^

Axel: tidak akan, sebelum panggilan kamu ke aku, sayang.

"Hey, bajingan sialan!" Sapanya pada Alen dengan santai.

Alen hanya tertawa kecil lalu menghela nafas merasa biasa saja." Kamu takut saya bisa mengambil Serra dari sisimu?" Tanya Alen dengan tatapan menghardik, merasa ia akan lebih kuat dari Axel.

Mendengar nama Serra di sebut, sontak Axel langsung menarik kerah kemeja Alen. Membuat keduanya berjarak sangat dekat."Jaga mulutmu! Bajingan seperti kamu tidak akan pernah bisa memiliki Serra," tegasnya .

"Kalau saya mau, saya tentu akan bisa memilikinya," ucap Alen lalu tersenyum miring, ia tidak takut sekalipun Axel akan memukulinya detik itu juga.

Teringat sesuatu, Axel segera melepaskan kerah kemeja Alen.

" Oh iya, temui aku di taman kampus besok! ada yang harus kita bicarakan! Jika kau tidak datang, berati kau hanya seorang pengecut,"jelasnya lalu sengaja menabrakkan bahunya cukup keras pada Alen.

"Sialan!" Alen menyapu bahunya lalu menyeringai menatap punggung Axel yang mulai menjauh.

"Axel, sebenarnya kamu itu lemah. tanpa saya sentuh pun, tulang-tulang kamu akan patah bahkan bisa-bisa hanya tersisa nama saja," Alen menatap tajam kearah Axel, harga dirinya bagai di injak-injak oleh Axel.

"Saya tunggu tanggal mainnya tuan Axel, kita lihat siapa yang akan menjilat ludahnya sendiri."

DO YOU HAVE A BABY? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang