Prolog

691 61 10
                                    

Mati muda di usia 27 tahun, itulah akhir perjalanan hidupku yang miris. Tidak ada yang lebih mengenaskan dibanding takdir yang Tuhan gariskan untukku. Tidak cukup dengan membuatku menderita selama hidup, rupanya aku disusahkan selama itu memang untuk memperlancar perjalananku menemui ajal.

Dua hari lalu, aku baru mendapat kabar bahwa ibuku di kampung mengidap penyakit parah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Ayah memintaku untuk mengirimkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Katanya itu untuk berobat ibu, namun tentu saja aku tidak lantas percaya. Kebohongan seperti ini sudah biasa dirangka ayahku hanya demi mendapat transferan.

Dulu aku sempat tertipu, tapi kini tidak lagi. Sejak aku tahu bahwa uang yang kukirimkan selalu ia gunakan untuk judi dan mabuk-mabukan, sejak saat itu kuputuskan untuk stop mengirim uang. Aku tidak percaya lagi pada penipu itu, oleh karenanya dia sering menjadikan ibuku sebagai dalih untuk memperdayaku.

Hubunganku dan keluarga memang tidak begitu baik, kedua orang tuaku masih bersama tapi aku merasa seperti korban broken home. Aku memiliki kakak perempuan, dia menjadi petugas administrasi di kantor desa tempat orang tuaku tinggal. Kehidupannya cukup baik, dia kebanggaan ayah dan ibu. Sedangkan aku? Hh ... entahlah, aku pun tak tahu apa arti diriku di keluarga itu. Sejak kecil kakakku selalu lebih unggul dalam segi apa pun dibanding diriku.

Dia terbiasa menjadi pusat perhatian dan ya, semua orang begitu mudah jatuh sayang padanya. Berbeda denganku, kehadiranku bahkan jarang disadari orang lain. Begitu pun dengan kedua orang tuaku, mereka lebih perhatian pada kakak. Jujur, aku sakit hati. Tapi itu dulu. Setelah dewasa, kuputuskan untuk tidak terlalu memedulikannya. Aku berjuang sendiri untuk menuntaskan pendidikanku melalui beasiswa. Beruntung Tuhan masih memberkati otak cerdas padaku. Berbekal itu, aku bertandang ke Ibu Kota dan memulai sekelumit kehidupanku seorang diri.

Aku sudah terbiasa bekerja sambil kuliah. Orang-orang memanggilku dengan julukan ratu kerja paruh waktu. Mereka takjub karena aku bisa mengatur waktu 24 jam jauh lebih maksimal dibandingkan orang-orang pada umumnya. Pendidikanku selesai dengan predikat menakjubkan, dan aku menghidupi diriku sendiri tanpa bantuan siapa pun. Cukup membanggakan, bukan?

Singkat cerita aku bekerja di perusahaan yang cukup ternama dengan posisi menjanjikan. Sejak saat itulah, kedua orang tuaku jadi memperhitungkan kehadiranku. Awalnya aku senang, akhirnya mereka menganggap eksistensiku. Ada rasa bangga menyusup ke dalam dadaku ketika aku berhasil menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa menjadi orang berguna.

Sayangnya, aku terlalu berpuas diri dan berbangga hati sampai telat menyadari bahwa kebaikan mereka itu justru mendorongku jatuh ke jurang pada akhirnya. Aku jadi sering direcoki, meminta uang padaku menjadi agenda rutin yang dilakukan mereka setiap bulannya. Pernah sekali waktu, mereka meminta uang dalam jumlah besar, saat kutanya ternyata uang itu dialokasikan untuk membiayai pernikahan kakakku.

Demi apa pun, sakit sekali rasanya. Bukannya mau perhitungan pada keluarga sendiri, tapi bagaimana pun aku mendapatkan uang itu dengan susah payah dan berdarah-darah. Mudah sekali bagi mereka menghabiskannya tanpa peduli semenderita apa perjuanganku meraih itu semua.

Tidak cukup sampai di situ, masih ada hal tergila yang dilakukan keluargaku. Hal yang membuatku menyadari bahwa selama ini aku benar-benar sendiri. Tak ada seorang pun yang berdiri di pihakku. Kala itu sore hari, setelah aku menolak permintaan ayah untuk mentransfer uang. Dua orang debtcollector mendatangiku dan menagih hutang yang sama sekali tidak aku ketahui. Nominalnya menjadi sangat fantastis karena disertai bunga yang tidak kira-kira.

Mereka menunjukkan bahwa hutang itu adalah hutangku karena diajukan atas nama pribadiku dan menggunakan kartu identitasku. Demi Tuhan, aku tidak pernah melakukan transaksi atau meminjam uang apa pun kepada siapa pun. Lantas mengapa tagihan itu bisa ada? Sudah jelas bukan, ya, keluargaku pelakunya. Sakit, kan?

Malamnya aku memutuskan untuk keluar flat, mencari udara segar untuk mendinginkan hati dan pikiranku. Sulit dijelaskan, jantungku benar-benar terasa hampa, isi kepalaku berkecamuk tapi aku tidak memiliki energi untuk mengamuk. Malam itu, aku merasa dunia sangat tidak adil padaku. Aku sudah berjuang untuk tidak merepotkan atau merugikan siapa pun. Lantas kenapa? Kenapa selalu aku yang dirugikan? Kenapa selalu aku yang disakiti? Kenapa selalu aku yang dianiaya baik lahir maupun batin?

Rasanya aku ingin mati detik itu juga. Aku benar-benar marah pada dunia. Aku menantang Tuhan dalam kebisuan. Kukatakan pada-Nya, jika keadilan itu memang ada, maka tunjukkan padaku sekarang juga! Buat aku bahagia sebagai balasan dari penderitaan tak berujung yang telah Dia berikan selama aku hidup. Jika kematian bisa membawaku menuju kebahagiaan sejati, maka matikan aku saat ini juga!

Itulah tantangan yang kuberikan pada-Nya, dan ya, mulutku memang racun. Pada akhirnya Tuhan mengabulkan semua keinginanku. Saat aku menyeberang di zebra cross, aku mendengar lengkingan klakson yang keras sekali dan ...

Brak!

Aku tidak ingat apa-apa lagi. Itulah kematian paling miris dari protagonis malang yang selalu dilarang bahagia ini. 

Coming soon

Simpan aja dulu di sini.

Antagonist, Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang