Bab 8

344 64 13
                                    

"Pak Menteri cepattt! Aku tidak ingin ketinggalan menyaksikan sun rise!" teriak Esther yang sudah berlari jauh di depan Axel.

Pagi buta, bahkan sarapan saja belum selesai dibuat istri paman Callan, Esther sudah heboh mengajak Axel ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Esther mendengar kabar dari penduduk desa bahwa sun rise di tempat ini sangat indah. Sejak kemarin siang, gadis itu penasaran. Selagi masih ada di sana  jadi Esther berharap bisa menyaksikan keindahan itu secara langsung.

"Dia seperti anak kecil," gumam Axel sambil geleng-geleng. Ia mempercepat langkah menyusul gadis itu.

"Kita tunggu di sini, sepertinya spot ini yang terbaik untuk menyaksiian matahari terbit."

Esther berhenti di ujung jembatan kayu yang langsung menghadap laut. Ia duduk sambil menempatkan kaki di anak tangga yang terendam air laut di pinggiran pantai.

"Kau ini kalau sudah ada maunya sama sekali tidak bisa dibantah," keluh Axel setelah duduk di samping Esther.

"Memang, kau yang paling tahu tabiatku seperti apa. Kalau ingin sesuatu aku harus mendapatkannya. Bersungguh-sungguh akan satu tujuan adalah prinsip utama yang aku pegang."

"Ya, kuakui tekadmu memang sangat kuat."

"Iya dong, kalau tidak begini mana mungkin aku bisa hidup sebagai Estherina yang merdeka seperti sekarang."

Axel mengernyit, "Maksudnya?"

"Aku tidak mau cerita padamu, kau bukan teman atau orang terdekatku," tolak Esther.

"Kau masih dendam padaku?"

Kini giliran Esther yang menoleh pada lelaki di sebelahnya.

"Untuk apa aku dendam?"

"Karena dulu aku bersikap jahat padamu dan sering membuatmu kecewa."

Esther lalu ber-oh ria, dia memokuskan pandangan ke depan. Pada langit yang gelapnya beranjak sirna sedikit demi sedikit.

"Aku tidak dendam padamu, Axel. Kemarahan, kekecewaan, dan semua rasa sakit yang pernah kurasa gara-gara dirimu kini sudah tidak ada lagi. Aku bahkan tidak ingat bagaimana rasanya," kata Esther.

"Karena yang merasakan semua perasaan itu bukan aku," lanjut Esther membatin.

"Kalau dipikir ulang, tidak pantas juga jika aku mengkambinghitamkanmu seperti ini. Semua kecewa yang kurasa di masa lalu adalah konsekuensi dari pilihanku sendiri. Sejak awal mencintai seseorang yang tak mengharapkan kehadiran kita di hidupnya itu salah besar. Aku malah nekat dan menghalalkan segala cara hingga muncul obsesi. Sekarang aku bahkan ragu, apakah perasaan Estherina untukmu benar-benar tulus atau hanya sebatas alibi untuk terbebas dari kekangan keluarganya."

"Kau terkekang oleh keluargamu?"

Esther tersenyum tipis, getir di bibirnya tampak asing. Axel belum pernah mendengar tentang fakta ini. Wajar jika dia sangat terkejut.

"Hidup sebagai putri konglomerat yang cukup berpengaruh bagi negeri ini, mana mungkin aku tidak terkekang. Ada banyak aturan yang harus kupatuhi. Kau salah satu orang beruntung yang mengetahui bagaimana latar belakangku. Aku tidak bisa dengan lantang mengatakan aku putri siapa, karena itu sama dengan mengundang musuh mendekati batas teritoriku."

"Kau tahu tidak alasan mengapa dulu aku terobsesi padamu?" tanya Esther serius. Axel menggeleng pelan.

"Aku tertarik padamu karena kau tidak peduli dengan latar belakangku. Di saat mereka yang mengenalku berlomba untuk menjadi orang terdekatku, kau malah menjauh, seperti tidak ingin terlibat denganku sama sekali. Pada saat itu aku hanya penasaran padamu. Lalu muncul perasaan suka, ingin memiliki, dan keinginan itu membuatku semakin serakah. Aku ingin menjadikanmu milikiku seorang. Gila, kan?"

Antagonist, Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang