"Huhh, ternyata pak Darren tidak semenyeramkan bayanganku. Orangnya cukup asyik walau agak kolot, ya mungkin usia yang berbicara ya. Tapi sejauh aku ngobrol dengannya, dia cukup bisa mengimbangiku. Sepertinya memang aku saja yang terlalu overthinking," ujar Esther berbicara pada dirinya sendiri.
Saat ini dia sedang ada di toilet hotel, ia izin pada pak Darren untuk membenarkan riasannya. Selain itu, Esther juga memang kebelet ingin buang air kecil. Setelah membenarkan riasan dan penampilannya, Esther keluar dari toilet. Saat keluar, jantung gadis itu serasa mau copot karena tiba-tiba dihadang seseorang.
"Astaga! Pak menteri, mengagetkan saja!" omel Esther, rupanya orang yang muncul mendadak itu adalah Axelino.
"Sedang apa pak menteri di sini?"
"Harusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini?"
Esther mengernyit, "Loh, aku habis dari toilet."
"Bukan itu, maksudku kenapa kau di sini dan makan bersama laki-laki yang katanya kau benci itu?"
"Maksudmu pak Darren? Aku tidak pernah bilang aku membencinya perasaan."
"Apa pun itu, kenapa kau bersamanya?"
"Kami sedang makan, memangnya apa lagi? Kok pak menteri bisa tahu?"
"Tidak penting aku tahu dari mana, aku hanya ingin tahu alasanmu kenapa kau setuju untuk makan dengan laki-laki itu?"
"Orang tuaku yang menyuruh jadi aku—"
"Apa jika orang tuamu menyuruh kau melompat dari gedung kau akan melakukannya begitu saja?" sulut Axelino, dia jadi emosi sendiri. Esther cukup kesal karena merasa dimarahi tanpa alasan.
"Pak menteri kenapa, sih? Sinis banget, terserahlah, aku mau melakukan apa pun dan bertemu dengan siapa pun, tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau sok ngatur dan marah-marah tak jelas begini?"
"Siapa yang marah? Aku hanya bertanya."
"Caramu bertanya jelas seperti orang yang sedang menginterogasi dengan penuh amarah. Lagi pula kenapa kau harus memusingkan pertemuanku dengan pak Darren? Aku sudah pernah bilang kan kalau aku akan dijodohkan dengannya, sangat wajar jika orang tuaku mengatur pertemuan ini."
"Kau tidak suka padanya, jangan memaksakan diri."
Esther mengembuskan napas berat, "Memang benar untuk saat ini aku masih belum menyukainya. Tapi setelah dipikir ulang, kurasa dia cukup bertanggung jawab, orangnya tulus, dan gentle, tidak ada salahnya jika aku memberinya kesempatan untuk melakukan pendekatan. Siapa tahu kami berjodoh."
Axel mengikis jaraknya dengan Esther, saat ini hatinya sedang berapi-api. Ia tak tahu jelas apa yang akan dilakukannya setelah ini, yang pasti mendengar Estherina bicara seperti itu, api di hati Axel kian berkobar tak tertahan. Kondisi ini sungguh menyiksa, Axelino yang biasanya tenang kini mulai kelabakan tak menentu.
"Kau ingin berjodoh dengannya?" tanya Axel penuh tekanan.
"Ke—kenapa kau memojokkanku begini, Pak menteri, aku—"
Esther tak bisa berkata-kata lagi ketika punggungnya sudah membentur tembok. Ia terpenjara dalam kungkungan Axelino yang sedang aneh luar biasa. Entah setan apa yang merasuki diri pria itu, sampai dia bersikap tidak wajar begini.
"Jawab aku Estherina, kau mau berjodoh dengannya?"
"Jika kujawab iya, kau mau apa?"
Axel tersenyum sinis, "Aku yakin itu bukan jawaban yang tulus."
"Tidak usah sok tahu pak menteri, kau bukan Tuhan yang bisa tahu seperti apa isi hatiku. Sudah kubilang, hati manusia itu mudah berubah. Jika saat ini aku tak menyukai pak Darren bukan hal mustahil jika besok atau lusa aku akan jatuh cinta padanya. Kau yang menyuruhku untuk berhenti mengejar laki-laki, kan? Sekarang aku melakukannya. Aku mengikuti saranmu untuk tidak mengejar siapa pun, dan mulai memberi kesempatan pada pria yang menginginkanku untuk lebih dekat denganku. Apa itu salah?!" sungut Esther mulai terpancing emosi karena Axel terus memprovokasinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonist, Me?
General FictionKisah seorang gadis yang terlempar ke dunia lain dan harus menjalani takdir keduanya sebagai antagonis yang dibenci semua orang, termasuk Axelino Callandra.