Tanpa terasa air mata merembes di pelupuk mata Esther. Hatinya sakit sekali menyaksikan kondisi seorang ibu, berusia sekitar lima puluh tahunan tengah berbaring ringkih di kasur lapuk yang ada di ruang utama. Ya, kasur yang sudah tak layak pakai itu digelar begitu saja di tengah rumah. Tepat beberapa langkah dari jarak pintu masuk ke rumah beralas papan itu.
Rupanya dugaan Esther tepat sasaran, dua pemuda yang mencuri ponselnya bukan penipu. Mereka berkata jujur saat bercerita bahwa ibunya sedang sakit parah. Mereka terpaksa mencuri untuk biaya perawatan sang ibu yang mengalami stroke parah. Gejalanya sudah sampai menyebabkan sulit bicara dan tak bisa bergerak. Bahkan, satu mata sang ibu pun mengalami disfungsi. Sehingga ia hanya bisa melihat dengan satu mata saja.
Dokter puskesmas sudah dipanggil ke rumah itu untuk memeriksa si ibu. Axel dsn Esther tidak bisa membawa ibu itu ke rumah sakit sekarang karena jaraknya yang jauh, pun medan di perjalanan sangat tidak mudah ditempuh. Alhasil, untuk sementara mereka hanya bisa memanggil dokter dari puskesmas terdekat saja.
Setelah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, sang dokter meresepkan obat untuk dibeli di apotek kota karena persediaan obat-ibatan di puskesmas setempat terbatas dan tidak begitu lengkap.
"Ya, Tuhan, kenapa jadi lebih mahal dari sebelumnya?" kata si bungsu yang bernama Joe.
Hans, sang kakak hanya bisa meneteskan air mata tanpa banyak berucap. Hari ini dia tak mendapatkan uang sama sekali karena aksi kriminalnya digagalkan oleh Axel dan Esther. Sekarang dia tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus obat ibunya.
"Pak menteri, kau bawa dompet?" tanya Esther sambil mengusap air matanya.
Tanpa banyak kata pria itu langsung memberikan dompetnya pada Esther. Gadis itu beringsut maju, ia duduk sejajar dengan Hans dan Joe. Esther membuka dompet Axel dan mengeluarka beberapa lembar uang kemudian diberikan pada kakak beradik itu.
"Apa segini cukup?" tanya Esther.
Hans dan Joe langsung menatap Esther dan Axelino bergantian.
"Gunakan uang itu untuk menebus obat ibu kalian."
"Be-benarkah kami boleh menggunakannya, Pak?"
"Iya, pakai saja. Mumpung masih siang, cepat kalian beli obat itu. Apa jarak desa ini ke apotek kota sejauh ke pantai timur?"
"Tidak Pak, hanya satu jam waktu yang kami perlukan dari desa ke apotek kota," jawab Joe terharu, senang, dan lega di saat yang bersamaan.
"Bergegaslah kalau begitu," suruh Axel tenang sekali.
"Aku akan memanggil paman Callan untuk menjaga Ibu, kau siapkan motor Joe," kata Hans hendak pergi.
"Tidak usah, biar kami saja yang menunggu Ibu kalian. Cepat pergi, Ibu kalian memerlukan obat itu," kata Esther.
Hans dan Joe saling berpandangan, mereka pun setuju dengan tawaran Esther. Tanpa banyak kata, kakak beradik itu langsung keluar dari rumah kayu reot itu dengan tergesa. Kini, hanya tersisa Esther, Axelino, dan si ibu yang tengah berbaring diam saja sambil menatap kosong ke arah langit-langit. Esther menggeser duduknya ke samping ibu itu seraya tersenyum manis. Esther berbalik pada Axel dan memberikan isyarat pada pria itu agar duduk di sampingnya.
***
"Halo, Ibu, perkenalkan saya Esther dan ini Axelino. Kami adalah tamu dari putra-putra ibu, untuk sementara kami yang menemani ibu di sini ya," kata Esther ramah.
Meskipun tidak bisa merespons sapaan Esther, tapi si ibu bisa dengan jelas mendengar apa yang Esther ucapkan. Bahkan, dia bisa merasakan ketulusan hati gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonist, Me?
Ficción GeneralKisah seorang gadis yang terlempar ke dunia lain dan harus menjalani takdir keduanya sebagai antagonis yang dibenci semua orang, termasuk Axelino Callandra.