satu

152 13 0
                                    

"Aurora!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aurora!"

Aurora, perempuan itu menghentikan langkahnya ketika ada yang memanggil namanya. Aurora berbalik badan dan melihat seorang lelaki yang menggunakan kaos hitam, jaket denim, dan celana jeans.

"Ada apa, Kak?" tanya Aurora dengan suara lembut, membuat siapa saja terpesona dan suaranya enak didengar oleh semua orang.

"Kakak anterin kamu ke sekolah," jawab Satya—kakaknya Aurora—yang jarak umurnya hanya dua tahun.

Aurora menghela napas. Aurora mengira jika ada barangnya yang ketinggalan, ternyata Satya ingin mengantarkannya ke sekolah baru. Hari ini adalah hari pertama Aurora masuk ke sekolah barunya. Ia merupakan murid pindahan dari Australia. Ia pindah karena ikut orang tuanya dipindah tugaskan ke Indonesia.

"Nggak usah, Kak. Aku bisa berangkat sendiri. Kakak—"

"Nggak ada penolakan, Dek. Kakak ingin nganterin kamu ke sekolah baru, soalnya papa ada rapat di kantor."

"Ya udah iya. Inget, jangan ngebut kalau bawa motor," pesan Aurora.

Satya mengacak-acak rambut panjang Aurora yang sudah diikat rapi ke belakang. Hal itu membuat Aurora kesal dengan sang kakak. Satya selalu usil kepada adiknya sendiri.

"Kakak!" pekik Aurora.

"Maaf maaf. Sini Kakak benerin rambutnya."

Setelah merapikan rambut Aurora, Satya pergi ke garasi untuk mengambil motor ninja berwarna merah. Satya membantu Aurora naik ke motor tanpa melepaskan tangannya dari tangan sang adik.

"Udah siap?" tanya Satya memakai helmnya.

"Siap, Kak."

"Pegangan yang erat, Dek," pinta Satya.

Aurora memeluk pinggang Satya erat, takut kalau kejengkal ke belakang. Setelah siap, Satya melajukan motornya meninggalkan halaman rumah. Hal itu tidak luput dari pandangan sang papa yang sejak tadi memperhatikan kedua anaknya.

"Sayang, anak kita udah besar," gumam pria itu sembari memandang sebuah foto dirinya dengan mendiang sang istri. Istrinya meninggal karena penyakit kanker rahim setelah Aurora lahir.

"Kak, makasih udah nganterin aku ke sekolah," ucap Aurora sembari memberikan helm kepada Satya.

Satya merapikan rambut sang adik. "Sama-sama. Kakak pergi ke kampus dulu, ya. Nanti kalau Kakak nggak bisa jemput kamu karena ada kelas, kamu nggak papa, 'kan pulang sendiri?"

"Iya. Aku bisa pulang sendiri. Lagian aku udah hafal sama daerah sini."

"Oke."

Satya melajukan motornya meninggalkan sekolah Aurora. Aurora tersenyum tipis melihat bangunan besar di depannya. Aurora senang bisa melanjutkan pendidikan di Indonesia, tempat kelahiran sang ayah. Aurora membenarkan tas, kemudian berjalan masuk ke sekolah. Aurora pergi menemui kepala sekolah setelah bertanya letak ruangan kepala sekolah ke satpam.

Setelah menemui kepala sekolah untuk memberikan berkas, beliau meminta wali kelas mengantarkan Aurora ke kelasnya—yang kebetulan wali kelasnya ada jam—ketika kepala sekolah berbicara. Aurora mengikuti langkah wali kelasnya di belakang sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh arah.

Pak Harin membuka pintu kelas, membuat seisi kembali ke tempat duduknya, karena tadi mereka bergerombol jadi satu. Semua murid di kelas itu mengalihkan pandangan ke arah Aurora.

"Selamat pagi anak-anak! Hari ini kita kedatangan murid baru dari Australia. Rora, silakan perkenalkan diri kamu."

"Kenalin nama gue Aurora Abellia, murid pindahan dari Australia. Mohon bantuannya, ya."

Semua murid menyambut kedatangan Aurora dengan baik. Aurora tersenyum tipis melihat mereka.

"Baik Rora. Silakan kamu duduk di bangku yang kosong itu," tunjuk Pak Harin ke bangku yang kosong di tengah.

"Baik, Pak."

Aurora melangkahkan kaki menuju bangkunya. Aurora meletakkan tas di laci, kemudian mengambil buku pelajaran di tas.

Pandangan Pak Harin tertuju ke bangku belakang, terlihat kosong. "Ada yang tahu dimana Arden?" tanya Pak Harin tegas.

"Kurang tau, Pak. Mungkin Arden telat," jawab salah satu siswa berambut hitam yang duduk di bangku samping murid bernama Arden.

"Ya sudah. Silakan buka—"

Pandangan semua orang tertuju ke pintu yang baru saja dibuka oleh seseorang. Terlihat seorang lelaki tampan dengan wajah cueknya, memakai headset yang hanya dipasang di leher, jaket hitam, dan penampilan terlihat berantakan.

"Kenapa bisa terlambat, Arden?" tanya Pak Harin dingin.

"Biasa. Bangun kesiangan," jawab Arden tanpa beban sama sekali. Semua orang sudah tidak heran dengan sikap Arden, kecuali Aurora.

"Ya sudah, kamu duduk aja. Lain kali jangan telat."

"Hm."

Arden pergi ke bangkunya di belakang. Manik mata Arden sempat bertemu dengan Aurora, tapi ia segera memalingkan wajahnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ARDEN | 2HWANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang