lima belas

42 5 1
                                    

"Sial," umpat Arden ketika melihat CCTV yang mengarah ke rooftop

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sial," umpat Arden ketika melihat CCTV yang mengarah ke rooftop.

Tangannya terkepal erat. Arden yakin jika orang yang menyakiti Aurora adalah  Luna, terlihat ketika perempuan itu turun dari tangga, lalu disusul oleh Aurora.

Saat ini, Arden berada di ruang CCTV. Arden memiliki akses masuk ke ruang CCTV, karena dirinya salah satu anggota OSIS dan orang tua Arden adalah donatur di sekolahnya. Arden, lelaki tampan itu menyalin video CCTV ke flashdisk agar bisa dijadikan bukti.

Setelah itu, Arden keluar dari ruang CCTV sembari membawa tasnya di punggung, hanya sebelah saja. Arden tidak terima ada yang menyakiti Aurora, walau berbeda gender. Arden sudah terlanjur jatuh cinta terlalu dalam ke Aurora.

Arden tiba di parkiran, lalu ia naik ke motornya, menyalak
an mesin, lalu mengendarainya keluar dari gerbang sekolah. Arden melajukan motornya dengan kecepatan sedang dan tujuannya adalah rumah seseorang.

Dua puluh lima menit kemudian, Arden tiba di rumah sederhana tapi elegan. Arden turun dari motor, melangkahkan kakinya masuk ke rumah itu. Rumah itu adalah rumah Luna, mantan kekasihnya. Arden mengetahui tempat tinggal Luna, karena sebelum Luna pergi, perempuan itu tinggal di rumah yang ia datangi sekarang.

Brak!

"Keluar lo, Luna Bangsat!" teriak Arden menendang pintu rumah Luna.

Bersamaan dengan itu, Luna datang dari arah tangga. Luna yang mengenakan kaos biru tua dengan motif beruang di dadanya, dan celana pendek putih di atas lutut, tersenyum melihat Arden datang ke rumahnya. Luna berjalan ke arah Arden, begitu juga dengan Arden yang melangkah menemui Luna.

"Ada apa—"

Plak!

Kepala Luna tertoleh ke samping setelah mendapatkan tamparan keras dari Arden, hingga pipinya merah. Luna melihat ada raut kemarahan dan kebencian di mata Arden. Luna tidak tahu apa salahnya.

"Kenapa lo tampar gue? Gue salah apa sama lo?" tanya Luna menatap Arden.

Arden menunjuk wajah Luna. "Lo, 'kan, yang udah nyakitin Rora? Jawab!"

"Maksud lo apa? Gue nggak ngerti. Atau Rora—"

Arden menunjukkan video CCTV ke wajah Luna. Luna membulatkan matanya ketika melihat video dirinya turun dari tangga, dan disusul oleh Aurora dengan tangan terbalut sapu tangan.

"Gue masih nggak ngerti maksud lo apa."

"Lo beneran nggak ngerti atau pura-pura nggak ngerti? Gue tau lo yang nyakitin tangan Rora sampai berdarah. Video ini menunjukkan jika lo pelakunya, karena hanya lo yang turun dari tangga dan ada Rora juga!"

"Gue nggak nyangka lo sejahat ini! Bangsat lo, Lun!"

Luna mengepalkan tangannya. "Kalau iya kenapa? Masalah buat lo? Gue lakuin ini, karena gue nggak suka lo deket sama Rora yang notabenenya adalah orang yang baru lo kenal. Gue masih sayang sama lo!"

"Tapi gue, nggak! Rasa cinta gue ke lo itu udah pudar dan lo hanya mantan. Sekali lagi lo nyakitin Rora, habis lo di tangan gue," balas Arden.

"Gue yakin kalau Rora hanya pelampiasan lo doang. Nggak usah munafik, Arden! Lo itu milik gue!"

Luna menarik Arden dan memojokkannya ke dinding. Arden tersentak ketika tangan Luna ada di area sensitifnya dan mengurutnya, persis seperti Luna datang ke apartemen Arden.

"Lo milik gue, Arden. Gue bakal buat lo kembali sama gue," kata Luna semakin kuat mengurut junior Arden.

Arden menahan suaranya dan bisa membuat Luna semakin gencar memainkan miliknya. Tanpa pikir panjang, Arden memukul perut Luna hingga menjauh darinya.

"Bangsat!" teriak Luna sembari memegang perutnya.

"Nggak usah macam-macam sama gue. Seberapa usaha lo, gue nggak bakal luluh. Lo itu hanya sampah yang pantas buat dibuang. Mulai sekarang, jangan ganggu gue dan gue ingin fokus sama Rora!"

Luna menatap tajam Arden. "Rora terus yang ada dipikiran lo! Apa hebatnya dia? Gue lebih sempurna dan gue bisa lakuin apapun ke lo! Gue sakit hati waktu lo milih belain Rora daripada gue!"

"Ya, karena Rora lebih baik dari lo. Gue nggak akan tinggal diam kalau lo nyakitin Rora! Gue bakal bunuh lo!"

Setelah berkata demikian, Arden pergi dari rumah Luna dengan perasaan kesal dan marah. Aurora memukul sofa yang ada di sampingnya.

"Arden, Bangsat! Ini semua karena Rora. Gue harus lakuin hal lebih kejam lagi!" teriak Luna menjambak rambutnya.

"Selesai," ujar Satya selesai mengobati tangan adiknya.

"Makasih, Kak," balas Aurora tersenyum manis.

Satya mengelus rambut belakang Aurora. "Kok Kakak nggak yakin kalau tangan kamu luka, karena diri kamu sendiri? Jujur aja sama Kakak. Siapa yang ngelakuin ini ke kamu, Dek?"

Aurora mengelus tangan Satya. "Aku nggak bohong, Kak. Ini ulah aku sendiri. Kakak jangan suudzon sama aku. Aku nggak papa, kok."

"Beneran? Lagi nggak bohongi Kakak, 'kan? Jujur—"

Aurora mencium pipi Satya, kemudian menatapnya lekat. "Aku nggak bohong, Kak Satya yang ganteng, pintar, dan friendly."

"Iya, iya, Kakak percaya sama kamu. Kakak ke kamar dulu, mau istirahat. Kamu jangan lupa buat istirahat," ujar Satya mencium kening Aurora sebelum keluar dari kamar adiknya.

"Sori, Kak ..." lirih Aurora merasa bersalah karena berbohong ke kakaknya.

Ting!

Notifikasi ponsel Aurora berbunyi. Aurora mengambil ponsel di sampingnya, membuka pesan dari Yoa. Matanya membulat ketika melihat video dirinya sedang melakukan perundungan di sekolah lamanya. Dadanya naik turun.

Yoa: Gimana video yang gue kirim? Lo nggak lupa, 'kan, sama apa yang lo lakuin di sekolah lama?

Aurora: Bangsat! Mau lo apa, sih? Jangan ganggu hidup gue, Yoa!

Yoa: Gue nggak akan pernah berhenti ganggu hidup lo, dan gue bakal bongkar masa lalu lo. Semua bukti udah ada di gue.

Aurora: Lo udah gila? Nggak usah macam-macam. Yang lalu biarlah berlalu.

Yoa: Nggak! Yang namanya pembully itu tetap pembully. Banyak korban lo di sekolah lama sampai mereka trauma. Lo emang jahat. Nggak punya perasaan sama sekali.

Aurora memblokir nomor Yoa agar Yoa tidak menganggu hidupnya. Aurora merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit kamar sembari mengingat masa lalunya.

Yang dikatakan Yoa memang benar, jika Aurora sering melakukan perundungan ke murid di sekolah lamanya, tanpa peduli gender. Aurora dikenal sebagai pembuat onar dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Jika ada yang menganggu Aurora, mencari masalah dan beda kasta, Aurora akan menyakiti orang itu. Entah dari fisik atau batin. Aurora tidak peduli dengan rintihan kesakitan dari korban perundungannya.

"Sial," gumam Aurora.

"Sial," gumam Aurora

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ARDEN | 2HWANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang