tujuh

98 9 2
                                    

"Makasih buat hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Makasih buat hari ini. Jangan pernah lo hubungi gue."

Arden turun dari ranjang, mengambil pakaiannya di lantai, lalu meletakkan amplop cokelat yang isinya uang. Uang itu adalah hasil kerja keras perempuan yang mendesak di bawahnya. Cukup sekali, Arden melakukannya untuk melepaskan masalahnya.

Setelah memberikan uang, Arden keluar dari kamar, tidak lupa untuk menutupnya. Arden agak kurang suka dengan sikap perempuan itu yang terlihat murahan, bahkan tadi dia ingin dimasuki lebih dalam lagi.

"Gimana? Lo puas?" tanya Seno ketika melihat Arden menemuinya di bar lantai satu.

"Lumayan, sih. Gue cabut dulu."

Seno menahan lengan Arden. "Lo nggak mau minum dulu?"

"Nggak dulu. Besok gue masih sekolah."

Arden melangkahkan kaki keluar dari bar, berjalan menuju apartemennya. Kondisi Arden jauh dari kata baik, tapi ia tidak peduli. Setidaknya, beban pikirannya agak menghilang. Sebenarnya Arden membenci apa yang ia lakukan dan hanya ini satu-satunya cara.

"Lepas, Bangsat!" teriak seorang perempuan dibalik gang, persis di samping Arden berdiri.

Awalnya Arden cuek, karena bukan urusannya. Namun, entah kenapa dia berbalik badan dan pergi ke sumber suara tersebut. Arden seperti mengenal suara perempuan itu.

"Nona nggak bisa pergi ke mana-mana. Layani kami dan kami bakal kasih bayaran lebih. Cuma dua puluh menit, Sayang," ujar seorang pria belang—salah satu dari preman yang mengganggu perempuan itu.

"Gue bukan wanita murahan! Cari wanita lain, Bangsat!" teriak perempuan yang menggunakan kaos putih pendek dan celana training yang baru saja dari minimarket. Ketika pulang, ia ditarik paksa oleh tiga preman ke gang sebelah minimarket.

"Tapi kita maunya kamu, Nona. Tolong layani kami," celetuk preman yang lain.

Tiga pria itu mendorong perempuan itu ke dinding dan mengukungnya. Perempuan itu terlihat ketakutan, mana jalanan sudah sepi, karena sudah pukul sebelas malam.

"Lepas ..." lirih perempuan itu ketika mereka mengendus lehernya.

"Aurora!" teriak Arden yang baru saja datang dan menyadari jika perempuan itu adalah Aurel.

Kegiatan tiga pria tadi terhenti karena orang lain datang. Aurora berlari ke arah Arden dan bersembunyi di punggungnya. Ia beruntung karena ada yang datang.

"Siapa kamu, Anak Muda? Serahkan perempuan itu, kami ingin mencicipi tubuhnya," kata salah satu dari pria itu dengan rambut agak panjang.

Arden mengepalkan tangannya, merasa tidak terima dengan perkataan tiga pria itu. Entah kenapa, Arden sakit hati ketika Aurora ingin dilecehkan oleh mereka.

"Ra, tutup mata lo. Jangan buka mata lo sebelum gue suruh."

"Tap—"

"Aurora!" tegas Arden.

Aurora menutup matanya menggunakan kedua tangannya. Ia menurut dengan perkataan Arden dan yakin jika lelaki di depannya bisa mengatasi masalah ini.

Arden mengambil balok kayu berukuran sedang, kemudian mengarahkan ke mereka. Arden akan melakukan apa pun, asalkan bisa membalas mereka.

"Argh!" teriak salah satu dari mereka yang terkena pukulan kayu di betisnya.

"Hajar dia sampai mati!" perintah orang yang terkena pukulan kayu itu.

Mereka mengepung Arden sembari mengeluarkan senjata tajamnya, seperti pisau dan cutter. Arden tidak menduga jika mereka akan melakukan hal nekat. Lelaki itu mencari cara agar bisa melawan mereka.

Bugh!

Arden berhasil memukul perut pria yang ada di samping kirinya, membuat perhatian mereka teralihkan ke temannya. Ini kesempatan Arden untuk kabur.

"Rora! Lari!"

Arden menarik tangan Aurora pergi dari gang itu. Hal itu membuat pria tadi geram, mereka memutuskan untuk mengejar Arden dan Aurora hingga dapat.

Arden semakin kuat menggenggam tangan Aurora agar pria itu tidak menemukan mereka. Pandangan Arden tertuju ke gang, ia pun berbelok dan bersembunyi di balik tong sampah.

"Arden ... gue takut ..." lirih Aurora meremas jaket Arden.

"Lo nggak usah takut. Mereka nggak bakal nemuin kita," bisik Arden sembari melihat situasi.

"Tap—"

Aurora membulatkan matanya ketika sebuah benda kenyal menyentuh bibirnya. Pelakunya adalah Arden. Jantung Aurora berdetak, tidak seperti biasanya. Ia meremas ujung bajunya.

Sial! Kenapa bibirnya sangat manis? Batin Arden.

"Mereka pergi ke mana, ya?" tanya pria itu pada dirinya sendiri.

Pria itu memilih pergi dan kembali mencari mereka. Setelah langkah kakinya tidak terdengar, Aurora mendorong dada bidang Arden dan tautan bibir mereka terlepas.

"Gue mau—"

Sret!

Arden menarik pinggang Aurora yang hendak keluar dari tempat persembunyian. Aurora kembali membulatkan matanya ketika Arden menarik tengkuknya, dan melumat bibir mereka.

Tanpa sadar, Aurora membalas ciuman dari Arden sembari mengalungkan kedua tangannya di leher lelaki itu.

Tanpa sadar, Aurora membalas ciuman dari Arden sembari mengalungkan kedua tangannya di leher lelaki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ARDEN | 2HWANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang