lima

92 8 0
                                    

Arden memicingkan matanya ketika melihat mobil sedan hitam yang terparkir di depan apartemennya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arden memicingkan matanya ketika melihat mobil sedan hitam yang terparkir di depan apartemennya. Lelaki itu melepas sandal, kemudian meletakkan di rak. Arden masuk dan terkejut melihat sang ayah ada di ruang keluarga. Arden menghela mapas. Sudah lama sang ayah tidak datang ke apartemen semenjak sibuk bekerja.

"Ayah, sedang apa di sini?" tanya Arden berjalan menemui sang ayah di ruang keluarga.

Jevril, sang ayah meletakkan ponsel, kemudian menatap sang anak yang sudah ada di depannya. Jevril bangun dari sofa.

Plak!

Jevril menampar pipi kanan Arden hingga kepala Arden tertoleh ke samping. Pipi Jevril memerah karena tamparan sang ayah. Arden tidak mengetahui alasan ayahnya menampar dirinya.

Lelaki yang masih memakai setelan kerja menunjuk wajah Arden dengan ekspresi marah. "Kamu habis buat ulah apalagi di sekolah? Tadi saya dapat laporan dari sekolah kalau kamu buat ulah."

"Sial," gumam Arden.

"Aku mukul temenku karena udah ganggu aku. Aku nggak suka kalau ada yang ganggu aku, Pa," lanjutnya.

Jevril kembali melayangkan satu tamparan di pipi kiri putrinya, hingga meninggalkan bekas kemerahan untuk kedua kalinya. "Bisa, nggak, kamu jangan buat ulah di sekolah? Saya malu punya anak problematik kayak kamu. Saya sekolahin kamu karena ingin kamu menjadi anak yang berguna dan meneruskan perusahaan saya setelah lulus kuliah! Juga nilai kamu banyak turunnya!"

Arden muak dengan ayahnya yang tidak mau mengerti dirinya.  Arden seperti ini, karena ingin mendapatkan perhatian dari sang ayah yang sibuk dengan kerjaan, tanpa peduli dengan kondisinya.

"Kalau Papa malu punya anak kayak aku, kenapa Papa nggak buang aku aja?! Aku capek sama Papa yang selalu nuntut aku. Aku nggak bisa bebas, Pa. Harusnya Papa ngerti!"

Bugh!

Jevril memukul wajah Arden hingga sudut bibirnya berdarah. Arden sudah biasa dengan perlakuan sang ayah yang kasar. Ayahnya memiliki temperamen tinggi dan selalu kasar terhadapnya.

"Jaga bicara kamu, ya, Arden! Lihat kakak kamu yang udah berhasil meraih cita-citanya, karena nurut sama saya. Tidak seperti kamu yang selalu buat malu keluarga, karena kelakuan kamu. Sadar, Arden! Saya menekan kamu agar kamu bisa sukses."

"Kamu harus bisa mengalahkan kakak kamu. Kakak kamu itu pintar, beda dengan kamu yang kebalikannya. Harusnya kamu bersyukur, saya menyekolahkan kamu di sekolah bagus biar kamu bisa kayak kakak kamu," lanjutnya.

Arden membenci jika Jevril membandingkan dirinya dengan sang kakak. Setiap Arden membuat masalah, Jevril selalu menyangkut paukan dirinya dengan sang kakak. Ya, Arden akui kalau sang kakak itu pintar, ketua OSIS di SMA dulu, ketua BEM, ketua organisasi di kampus. Hal itu yang membuat Jevril bangga dengan sang kakak.

"Pa, setiap anak punya kemampuan masing-masing. Jangan bandingkan hidupku dengan kak Lino. Kita ini beda. Papa lebih fokus sama kak Lino sampai Papa lupa masih punya anak yang butuh perhatian dari Papa! Aku nggak suka dibandingkan dengan kak Lino!" teriak Arden dengan napas tidak beraturan.

"Kamu sudah berani bentak saya?" tanya Jevril menahan amarahnya.

"Aku cuma ngutarain apa yang aku rasain selama ini. Aku itu butuh perhatian dari Papa. Papa sibuk kerja, bahkan nggak pernah nanya kabarku, tentang sekolah."

Arden mengambil napasnya. "Papa hanya sibuk kerja, kerja, dan kerja! Papa nggak pernah peduli sama aku. Aku akui Papa selalu rutin ngirim uang, tapi bukan ini yang aku mau. Aku hanya ingin perhatian dari Papa!"

Jevril sudah tidak bisa menahan amarahnya. Jevril membawa paksa anaknya ke kamar mandi. Tanpa pikir panjang, Jevril memukul anaknya dan mengguyur Arden dengan air dingin. Seperti inilah sifat Jevril sebenarnya, tidak bisa mengontrol emosi.

Arden sudah menduga jika sang ayah akan memukulinya dan mengguyurnya dengan air dingin, seperti sebelum-sebelumnya. Arden tidak tahu harus bagaimana lagi agar mendapatkan perhatian dari ayahnya. Arden itu sayang dengan Jevril, tapi sifat Jevril yang membuatnya membenci sang ayah.

Jevril menghentikan aksinya ketika Arden sudah menggigil kedinginan. Luka lebam di wajah, perut, dan baju basah karena ulah Jevril. Jevril berjongkok di depan anaknya, menelisik wajah Arden yang agak kurang baik.

"Saya peringatkan kamu, jangan buat ulah di sekolah. Belajar yang bener dan kamu adalah satu-satunya pewaris perusahaan ayah, karena kakak kamu sudah menjadi dokter. Paham? Kalau begitu, saya pulang."

Setelah kepergian ayahnya, Arden menyandarkan kepalanya di pinggiran bathub. Tubuhnya sangat sakit dan badannya kedinginan. Arden mencoba berdiri walau susah, kemudian ia mengambil handuk untuk mengeringkan badannya.

"Sial! Gue benci sama hidup ini! Gue ingin bebas! Bangsat!" teriak Arden sembari menahan sakit di tubuhnya.

Arden berjalan lunglai ke kamarnya yang ada di lantai dua. Setiba di kamar, Arden mengambil baju tidur di lemari agar tidak kedinginan. Lalu, Arden membuka laci meja belajar dan mengambil kotak obat yang selalu ia simpan.

"Gue capek ..." lirih Arden.

" lirih Arden

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ARDEN | 2HWANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang