tiga

108 9 0
                                    

"Silakan duduk!" tegas Pak Rian kepada Arden yang baru saja datang, sambil menunjuk salah satu kursi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Silakan duduk!" tegas Pak Rian kepada Arden yang baru saja datang, sambil menunjuk salah satu kursi.

Arden menghela napasnya, kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di BK. Sebenarnya Arden muak melihat ruangan ini, karena hampir tiap minggu, ia sering dipanggil ke ruang BK dan ini ulahnya sendiri. Arden tidak bisa mengontrol emosinya.

"Coba jelaskan, kenapa kamu memukul Arvin?" tanya Pak Rian, kemudian duduk di depan kursi Arden. Pria berpakaian menggunakan kemeja putih dan celana hitam kain menatap tajam ke arah Arden.

"Arvin menabrak saya, Pak. Tentu saja, saya tidak terima," jawab Arden tanpa ada beban sama sekali.

Pak Rian memijat kepalanya, heran dengan sikap Arden. "Tapi tidak harus dipukul juga, Arden. Selesaikan dengan baik-baik. Saya juga dengar, dia sudah minta maaf. Kenapa sikap kamu kayak gini? Problematik."

Arden memutar bola matanya malas. Arden tidak takut dengan siapa pun, entah yang lebih muda, sepantaran, bahkan yang lebih tua juga. Arden juga tidak merasa bersalah dengan kesalahannya.

"Sekarang, Anda mau memberi saya hukuman apa? Saya siap menerimanya," ucap Arden terlihat santai, seolah sudah terbiasa dengan yang namanya hukuman.

"Bersihkan gudang lama dan pilih buku yang masih layak pakai."

"Oke. Kalau sudah selesai, saya pergi dulu. Permisi, Pak."

Arden berdiri dari kursi, melangkahkan kaki keluar dari ruang BK tanpa menunggu jawaban dari Pak Rian. Pak Rian hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap Arden yang kurang ajar terhadap siapa pun. Pak Rian merogoh ponselnya di saku celana, lalu mencari nomor seseorang. Panggilan dari Pak Rian langsung dijawab oleh orang yang diteleponnya.

"Halo."

"..."

"Baik, terima kasih infonya."

Arden menatap kunci di tangannya. Itu adalah kunci gudang yang sudah tidak terpakai. Arden menghela napasnya, lalu ia membuka gudang dan masuk ke dalam. Arden langsung batuk-batuk, karena gudang ini sudah lama tidak dibersihkan. Arden mengeluarkan masker yang selalu ia bawa, dari saku seragamnya. Arden membersihkan gudang itu dan memilih buku yang masih layak dipakai.

"Ada yang bisa gue bantu?" tanya seseorang yang tiba-tiba datang, membuat Arden kaget. Ia menoleh ke sumber suara—terlihat seorang perempuan di sana—dia adalah  Aurora.

"Dari mana lo tau, gue di sini?" tanya balik Arden dengan nada sinis.

Aurora melangkahkan kakinya masuk ke dalam, menelisik isi gudang itu. Aurora berhenti di depan Arden dengan senyuman manisnya, membuat Arden dejavu dengan senyuman itu.

"Jawah pertanyaan gue tadi!" bentak Arden.

"Ah, sori. Tadi gue nggak sengaja denger di BK waktu gue mau ke toilet. Lo dihukum, ya, bersihin gudang? Mau gue bantuin, nggak? Bu Cherry lagi sakit, kata Lia."

Arden menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Menurut lo? Nggak, gue nggak butuh bantuan lo!"

Aurora tidak mendengarkan jawaban dari Arden. Aurora tetap membantu Arden membersihkan gudang, walau lelaki itu menolak bantuannya. Arden terpaksa menerima bantuan dari Aurora. Bukannya lebih cepat lebih baik, ya? Itu yang ada dipikiran Arden.

"Lo kenapa mukulin anak itu? Gue denger dia sempat minta maaf, tapi lo potong perkataannya," ucap Aurora sembari memilih buku yang masih dipakai dan diletakkan di kardus bekas di gudang ini.

"Nggak usah ikut campur urusan gue. Lo tuh hanya murid baru yang nggak tau apa-apa. Nggak usah sok peduli sama gue!"

Aurora menolehkan kepalanya ke samping, lalu fokus membersihkan gudang. "Harusnya lo jangan pukul dia. Kasihan tau. Gue tau lo kesel karena ditabrak tadi. Gue ... sa—kit ...." lirih Aurora ketika Arden mendorongnya ke dinding dan mencekik lehernya.

"Gue udah bilang tadi, nggak usah ikut campur urusan gue. Lo tuh hanya orang asing dan nggak tau apa-apa soal hidup gue! Gue nggak suka ada yang ikut campur urusan gue!"

"Ar—den, sa—kit. Le—pas ...." lirih Aurora memegang lengan Arden dengan napas tidak beraturan.

Arden melepaskan cekikannya dari leher Aurora. Aurora mengambil napasnya dan hampir tidak bisa bernapas. Tidak ada raut muka penyesalan dari diri Arden, seolah hal itu sudah biasa ia lakukan. Arden mengabaikan Aurora dan melanjutkan membersihkan gudang, begitu juga Aurora.

Aurora kaget dengan sikap kasar Arden. Aurora kira, jika yang dikatakan Lia itu bohong, tapi kenyataannya memang begitu. Namun, Aurora yakin ada alasan kenapa Arden bisa berbuat kasar dan disebut problematik. Daripada memikirkan itu, Aurora memilih membantu Arden.

Tiga puluh menit, Arden dan Aurora selesai membersihkan gudang. Arden melangkahkan kaki keluar dari gudang, meninggalkan Aurora sendirian. Aurora hanya bisa menghela napasnya. Aurora pun keluar dari gudang.

"Gue harap dia bisa berubah," gumam Aurora menatap punggung Arden yang jauh dari pandangannya.

"Gue harap dia bisa berubah," gumam Aurora menatap punggung Arden yang jauh dari pandangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ARDEN | 2HWANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang