The Truth

990 162 52
                                    

Selamat petang guysss🫠🫠

Capek sekali aku hari ini, mana besok masih kerja. Semangat buat hari sabtu yang masih kerja besok🫠🫠

Side profilnya Miw memang handsome sangat, nak tak kuat lihat🫠🫠🙃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Side profilnya Miw memang handsome sangat, nak tak kuat lihat🫠🫠🙃





Mau tidak mau, teriakan Love di telepon telah membuat Namtan cepat-cepat datang ke apartemennya atau sang artis bakal mencari manajer baru buat digantikan.

Saat wanita itu datang mencari Love di Lobby, si perempuan segera mengajaknya masuk kediaman lagi.
Untuk kemudian disuruh buat berdiri memandangi pintu lemari sepatu, yang ia jelaskan bahwa seseorang atau makhluk telah keluar masuk dari situ.

“Mana mungkin Love.” Namtan mengerut alis sambil melipat tangan di dada. Matanya memandangi pintu yang tengah terbuka, dan tak ada apapun disana.

Bahkan ketika lampu dalam lemari dinyalakan. Tidak ada hal aneh, ditambah, semua sepatu telah dikeluarkan dari ruangan. Dan cuman menyisakan kekosongan.

I swear to God there’s somebody in there!” Love menjambak rambut dengan frustasi. Ia tidak gila dan cukup waras buat mengingat apa yang akhir-akhir terjadi.

Dan betapa ia sadar kalau tubuhnya telah dipindahkan dari sofa ruang TV ke kamarnya yang sangat nyaman tapi kini telah bernuansa ngeri!

Love tidak gila!

“Kamu betulan tidak minum? Kamu tahu kalau kamu tak sanggup minum alkohol lebih dari setengah gelas, kan?”

“Namtan!” Love berteriak lalu merengek putus asa. Ia menghentak lantai dan ingin sekali lagi menangis akan betapa semua ini membuat dirinya tak sanggup hadapi.

“Oke-oke, kamu tidak minum. Aku percaya.” Namtan menyerah dan coba menenangkan Love yang mulai tantrum. “Barangkali kamu kelelahan dan semuanya cuman mimpi?”

“Ahhh...” Love akhirnya betulan menangis, percuma kalau bilang tapi Namtan tidak percaya. Bagaimana kalau ia cerita ke orang lain yang kebanyakan tidak dekat dengannya? Jika yang paling dekat saja bereaksi begini.

“Hei-hei, jangan nangis.” Namtan kepanikan dan tak tahu harus berbuat apa untuk hentikan tangisan Love saat ini.

“Aku telepon polisi sajalah! Aku bisa bayar mereka mahal biar laporanku langsung diproses.” Love menghapus air mata dengan kasar, percuma kan kalo bilang ke orang paling dekat tapi si dia malah meragukan ucapannya.

Tapi Namtan keburu panik saat Love buka laci nakas kecil, mungkin mengambil ponsel. Itu kenapa ia mencoba menahan sambil bilang. “tunggu, Love!”

Tapi si dia bukannya ambil sesuatu yang diduga, malah menodongnya dengan senjata—alat setrum.

Namtan terlalu panik untuk menghindar, kecepatan tangan mungil itu tidak mengalahkan reflek tubuh. Yang membuat ia tumbang ketika setrumnya menyerang.

Fuck! Love!” Namtan berteriak kesal, bukan cuman merasa sebal. Ia marah pada dirinya sendiri kenapa berpikir kalau Love bakal selemah kelihatannya.

Tell me!” Saat tumbang tubuhnya, Love meraih tangan belakang Namtan, lalu memborgol wanita lebih tua seolah gerakan yang dilakukan bukanlah yang pertama. Sangat ahli dia melakukan.

Tell you what?!” Sial. Namtan paling murka kalau disetrum seperti narapidana begini. Sakitnya sampai otak!

“Kenapa kamu cepat sampai kesini dalam dua puluh menit padahal kamu perlu empat puluh untuk sampai?! Kenapa kamu tidak datang dari arah luar melainkan pintu samping apartemen?!” Love tidak suka nge-gas. Tapi ketakutan telah membawa kelakuannya jadi seperti ini. Ia bahkan bersiap mengambil sabuk, lalu mengikat kaki Namtan biar dia tak bisa kabur.

“Kamu sendiri yang mau aku cepat, Love. Bagaimana bisa kau memperlakukanku begini padahal aku sangat peduli!” Namtan pasrah saja melihat kakinya diikat oleh si gadis muda. Tangan kecilnya gesit juga, tahu-tahu sudah rapat dan ia betulan tak bisa bergerak dari tempatnya.

Tak puas dengan jawabannya, Love kembali memeloti Namtan dengan mata marah—padahal orang lain melihatnya sangat lucu. Wajah mungil, mata boba, dan bibir kecil, adalah paras warna yang tak bisa kau hitamkan bagaimana pun yang punya muka mau murka. Love, tidak punya wajah marah.

“Jujur saja padaku, kau telah jadi penguntit dan tinggal di apartemen sebelah, iya kan?!”

“Tidak!”

“Iya! Bilang!”

“Tidak, Love!” Namtan betulan sebal, orang dibilang tidak, malah disuruh mengaku yang bukan jawabannya.
“Aku sudah sangat percaya kau, Namtan. Kamu tak boleh bohong lebih lama dari ini. Jujur saja dan mengaku, apa kau tinggal di apartemen sebelah?”

“Demi Tuhan, Love. Tidak!”

“Apa kau masuk kamarku lewat lemari itu dan membuat video aktifitasku di kamar ini? Jujur, Namtan! Apa kau bertingkah seperti orang mesum atau psikopat?!”

“TIDAK-TIDAK-TIDAK! Apapun tuduhanmu padaku, itu semua salah! Kau menganggapku salah! Aku hanya orang yang bisa kau andalkan! Aku memang berkelakuan sedikit gila, tapi tidak segila apa yang kau tuduhkan padaku. Aku tidak seperti itu!” Ya Tuhan, saking putus asanya berteriak. Namtan sampai berair mata, ia pengin menangis saja karena sudah jadi tahanan gadis mungil—yang kalau tidak diborgol, pasti menumbangkan dengan sekali gerakan. Namun ia serasa jadi manusia kalah dan lemah karena sudah pasrah dari awal.

Bukan cuman setiap omongannya menjadi debu di atas udara, melihat Love marah-marah. Membuat Namtan kehilangan akal sebab gadis itu betulan bertingkah serius—meski tetap mukanya lucu.

“Lalu siapa pelakunya kalau bukan kamu Namtan?!” Tiap semburan kalimat, Love bergerak mengambil sesuatu, mengepalkannya dalam tangan kecil berisikan pigura foto, sementara satu tangan menodongkan alat setrum ke muka Namtan.

Dengan mata melotot berusaha mengintimidasi, Love menyalakan setrum. Biar si dia yang sudah meyek itu menangis sekalian. “Kamu punya akses segalanya! Kamu bahkan tahu kata sandi apartemenku. Jujur saja! Bilang padaku atau kubunuh kau!”

“Tolonggg!!!” Namtan berteriak sambil menangis, ia tak tahan. Marahnya Love sudah terlihat tidak lucu lagi, terutama saat gadis itu mengilatkan cahaya setrum beberapa senti dari mukanya yang berharga. Sumpah, Namtan takut mati. Tadi saja ia hampir tak sadarkan diri.

“Jangan menangis! Aku cuman mau kau jujur padaku!” Seriusan, Love galak sekali sampai-sampai Namtan kini gemetaran. Selayaknya sandera, dia tak bisa apa-apa selain menangis dalam ketakutan.

“Aku sudah jujur padamu, Love! Bukan aku! TOLONGGG!!!” Namtan akan berteriak sekuat tenaga, sampai suaranya terdengar sampai belakang ruangan sana.

Yang pada akhirnya, pintu terbuka, lalu muncullah sosok penyelamat wanita tengah putus asa.

“Jangan menyiksanya.” Suara tenangnya, kagetkan Love.

Gadis itu terlonjak, otomatis berbalik hanya untuk pelototkan mata. Saksikan siapa dalang dibalik semuanya.

“Tolong aku! Istrimu sudah gila karena kelakuanmu ini!” Namtan sampai mengesot susah payah. Mendekat pada si dia yang masih menatap lurus pada seorang Cinta.

Entah harus bereaksi apa sama semua ini. Love sampai kelu, kaku dalam kaki, dan memproses segala kejadian. Tapi kata Istri yang keluar dari mulut Namtan, sempat membuyarkan konsentrasi.

“Maafkan aku.”

“Jangan mendekat!” Love rentangkan tangan di depan, dengan alat setrum yang ia nyalakan. Ia bisa saja menyerang tanpa berpikir. Namun karena masih dalam keadaan bingung. Dirinya cuman bisa mundur selangkah ketika si dia mencoba meraih tubuhnya.

“Aku bisa jelaskan.” Suaranya tenang, nihil panik. Padahal Namtan yang berada di bawah kakinya sudah ketakutan mampus, juga Love yang kini merasa kacau saat melihat kehadirannya.

No...” Love menarik napas, menggeleng kepala seolah menolak fakta. Entah harus bagaimana menerima, ia betulan tak bisa menebak siapa pelakunya. Tidak seperti yang ia duga.

Let me explain. Please.” Suara pelan dan muka memohonnya tak berhasil membuat perempuan itu dengar. Malah makin murka dengan bilang;

“Aku bilang jangan mendekat!” Love berteriak marah. Caranya melangkah ke depan membuatnya tak suka. Jadi ia maju tak gentar sambil nyalakan setrumnya. Namun bukanya mengenai si pelaku, Love terselip langkah, hingga jatuhkan apa yang dipegang. Panik segera menyertai saat ia coba cari senjata yang cuman ia miliki, saat mencoba meraihnya kembali, kedua tangan malah ditahan, tentu saja dirinya juga melawan.

“Sialan, kalian malah adu tangan, hei! Lepaskan aku!” teriakan Namtan tak didengar siapapun. Keduanya malah makin beradu seru, yang kecil tak mau kalah, yang lebih besar tak mau menyakitinya.

Terus saja sampai keduanya malah saling tersetrum karena ulah mereka sendiri.

“Astaga! Kalian!” Namtan makin berteriak saat melihat Suami-Istri itu malah tumbang di lantai. Kelojotan karena listrik telah merasuk tubuh dan melemahkan ototnya. “Mereka benar-benar tidak berguna.”

Namtan sepertinya akan terus dalam posisi seperti ini entah sampai kapan. Sampai keduanya sadar dari pingsan.

“MILK! LOVE! BANGUN BANGSAT! SIALAN KALIAN BERDUA, YA! WOI!”

A Thin LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang