- Tujuh Belas -

48 7 0
                                    

- Selamat Membaca -

|| Sebuah hubungan itu akan lebih baik jika di dalamnya saling percaya, adanya keterbukaan dan tidak pernah menaruh rasa curiga pada pasangannya

Renjana & Kaivan 

———

Sebulan lebih menjalani hubungan bersama seorang duda, tidak pernah membuat Renjana pusing atau seperti mantan kekasih sebelumnya yang harus ini dan itu sementara dirinya sendiri asyik bersama orang lain, menghabiskan malam panjang sampai lupa ada kata dosa di dalamnya. 

Weekend ini Renjana diajak ke mansion Kaivan. Mereka duduk berdua di taman samping bangunan tiga lantai itu, luas dan indah sekali. Banyak bunga-bunga cantik yang tengah bermekaran di sana. 

Semenit hingga berbelas-belas menit keduanya tak saling mengungkapkan kata. Renjana merasa bosan, tapi tiba-tiba tangan kanan bin mungilnya ini di genggam erat oleh Kaivan. Kedua mata mereka saling bertemu, tak lama Renjana menyandarkan kepalanya pada dada bidang Kaivan.

“Boleh begini, kan? Nggak ada yang marah, kan?” tanya Renjana. 

Tangan kekar Kaivan beralih mendekap Renjana dari samping. Apa katanya tadi? Nggak ada yang marah? Hei! Bukankah Kaivan Dwi Anderson hanyalah milik Renjana seorang, kan? Jadi, buat apa berkata demikian coba? Haih, ini mah Renjana memantik api tapi dia sendiri yang terbakar.

Kaivan mengecup kening kekasih kecilnya cukup lama. “Tidak akan ada yang marah, ya. Lagian apa yang saya punya hanya milikmu seorang termasuk yang ada dalam tubuh saya ini. Hem … gimana kalau kita mulai sekarang saling terbuka dengan perasaan masing-masing, terus … apa kamu punya rencana seminggu atau setahun atau mungkin ke depannya?” Kaivan merasakan kenyamanan, sungguh dia tidak bohong. 

Saat dulu bersama Megan jangankan hanya menggenggam untuk ketika selesai ijab qobul. Menyentuh pun tidak pernah. Bahkan Megan tidak pernah mengizinkannya. Yang dia mau hanyalah uang, uang dan uang. Ada rasa penyesalan yang terjadi dalam diri Kaivan mengingat masa lalunya. Kenapa gitu, nggak dari dulu mereka bertemunya? Maksudnya Kaivan bertemu dengan Renjana? 

“Kalau kamu?” Renjana bertanya balik. 

Kaivan melepaskan dekapannya, meminta Renjana berdiri tapi setelahnya dia menarik Renjana ke dalam pelukannya. Memangku gadis kecil itu dan memeluknya dengan nyaman, mencuri kehangatan pada perpotongan lehernya tersebut. Renjana tidak mau, tapi Kaivan memaksanya.

Renjana terus berontak, tapi malah tenaganya mendadak hilang. Iya, iyalah bagaimana bisa tahan sedangkan tenaga Kaivan saja besar sekali, dilihat dari otot-ototnya saja sudah pasti. 

“Jangan gini di sini, Bee!” cegah Renjana. 

Kaivan mendongak. “Memangnya kalau di dalam boleh?” 

“Nggak! Nggak boleh, ah. Jangan begini, please!” 

Kaivan tidak peduli dengan usaha Renjana yang terus memberontak. Kaivan semakin membuat Renjana tidak tahan tapi dia tidak punya keberanian sama sekali. “Aku mau ngelamar kamu, Na, pas akhir semester ini, bagaimana?” tanya Kaivan, nada suaranya bahkan kata demi katanya sama sekali tidak kedengaran jelas karena dia menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Renjana.

“Memangnya kamu udah yakin sama aku?” 

Renjana mengubah panggilannya yang biasanya saya—-jadi aku—-dia juga sempat meminta Kaivan begitu, tapi dia seringkali melupakan peringatan Renjana. Kaivan sendiri sudah begitu dia malah ingin mencoba menggoda Renjana dengan tangan kekarnya.

“Is! Nggak boleh. Heran aku. Kamu … ini duda kok begini amat kelakuanmu kayak yang laper gitu, nggak pernah dikasih makan. Hem … tapi kalau diinget-inget kasihan juga kamu, pas sama mantan istri yang pertama kamu nggak dikasih makan sama sekali. Padahal kamu sendiri yang mencari nafkah. Hem?” 

“Makanya sekarang, beri aku makan! Hem … tidak. Jangan dulu, tapi nanti setelah kata sah aja terucap, akhir semester ini aku akan melamarmu dan kita akan secepatnya menikah. Nggak apa-apa, kan? Aku takut dosa kalau kita lama-lama berpacaran begini, dan memang dalam islam melarang untuk hamba-Nya berpacaran, kan?”

“Lihat aja nanti, ya!” 

Cukup lama berada di samping rumah duduk berdua bertukar cerita dengan obrolan penting di dalamnya itu Kaivan sudah memutuskan akan melamar Renjana. Kaivan sendiri senang Renjana tidak menolaknya, tapi tanpa Kaivan sadari memang Renjana ini sejak dulu malas sekali lama-lama berpacaran.

Pacaran bagi Renjana memusingkan sekarang. Renjana baru sadar sejak putus dengan Hansel.

Kala malam telah hadir menyapa, langit menampakkan cahaya bintang dan sinar rembulan Renjana mengajak Kaivan untuk masuk saja. Udara malam ini sangat dingin sekali. Renjana yang mengenakan dress model sabrina itu tak tahan. Alhasil, ya … Kaivan mengikuti kekasihnya ke dalam.

“Tapi kalau kita menikah, apa Mommy Nau akan mengizinkan kita bersama? Terus si Tante yang waktu itu dateng minta harta gono-gini, juga apa dia bakal—-”

Kaivan memotong ucapan Renjana dengan memberikan tanda di perpotongan leher Renjana, karena jujur saja sejak tahu tujuan Megan menikahinya untuk hal pribadi dia dan kesenangannya, Kaivan sangat tidak suka apabila siapa pun termasuk Renjana mengucapkan nama perempuan itu.

Sebagai hukumannya si duda kurang asyem itu membuat Renjana menjerit tak tertahankan apalagi saat melihat di cermin pada bekas gigitan Kaivan.

Bugh … 

Ckkk. Sat. Sakit banget pantat,” keluh Kaivan, mendapatkan tendangan super dari Renjana setelah dia berhasil memberikan tanda setempel di leher kekasih kecilnya. “Aaarghh.”

Renjana berdiri merapikan pakaiannya dan dia mengambil cermin kecil nan bulat yang selalu dia selipkan di antara barang-barang di tasnya. Seingat dan setahu Renjana itu pas baca di novel-novel dan menonton sekilas video beradegan dewasa jika sudah melakukan hal tersebut, selalu timbul tanda atau bekas keunguan di lehernya. 

Deg … 

Bola mata Renjana melebar sempurna saat pandangan matanya melihat ke arah leher di cermin yang dia arahkan. Renjana meneguk salivanya susah payah. Semua ini gara-gara Kaivan—-si duda menyebalkan itu. Fiks … harus LDR dulu sampai seminggu, tidak bisa dibiarkan. 

“Emang dasar duda kurang belaian, maen nyosor aja!” dumel Renjana, sambil mengambil tasnya dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Melihat Renjana yang sepertinya akan pergi. Cepat-cepat Kaivan berdiri dan mencegah kepergian Renjana. Dia tidak ingin kekasih kecilnya pergi sebelum dirinya bisa mendapatkan kata maaf darinya.

“Maaf, Yang. Aku khilaf. Aku—-” 

“Minggir nggak, lo?! Gue mau pergi pokoknya … awas nggak?” potong Renjana, memelototi kekasihnya, tak peduli meski dibilang Renjana tak punya sopan santun sekalipun. “Oh, atau lo mau kita break dulu sampai waktu lamaran tiba, hah?!” 

“Nggak. Nggak gitu, Yang! Oke, ya … udah kalau mau pulang. Aku antar, ya! Aku antar kamu sampai ke rumah. Kamu nggak boleh pulang sendiri.” 

Mau menolak tapi takut. Ini sudah jam sembilan malam. Renjana mentok keluar rumah sampai jam delapan saja. Jarang terlalu malam kalau bukan waktunya kerja. Kalau kerja pun sang papi selalu on the way jemput. Mau terima, gengsi menguasai hatinya karena beberapa menit lalu dia marah-marah. 

- Bersambung -

Renjana | OTW TERBIT✅ | Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang