Bab 8: Deduksi

10 3 1
                                    

"Penulis bilang 'i write you'."

"Even though he wrote you, you might not read him."

"Jarang-jarang Kak Bas basa-basi sama orang. Jangan sia-siain, atuh! Pepet terus!"

Perkataan Weka sekilas terputar di benak Mai. Makanan yang hampir masuk ke mulut Mai kembali ke mangkuk. Mai meletakkan sepasang sumpit yang ia gunakan untuk mengambil mi ayam di atas mangkuk. Helaan napas Mai menarik atensi Adis.

"Kenapa, Mbak?" Adis yang baru saja mengunyah mi ayam ikut meletakkan sumpit di atas mangkuk. "Capek skripsian?"

Mai belum pernah menceritakan tentang Bas sedikitpun pada Adis. Maka, setelah berpikir selama beberapa detik, Mai memutuskan untuk menceritakan tentang lelaki yang akhir-akhir ini akrab dengannya di media sosial kepada Adis. Mulai dari ia membeli buku dari Bas, hingga ketika Mai mengetahui fakta tentang Bas dari Weka.

"Pasti kamu mikir kalau dia naksir kamu, kan, Mbak?"

Tebakan Adis membungkam Mai. Mata Mai sedikit terbelalak. Namun, mimik yang diberikan Adis justru uluman senyum. Lalu rona merah sedikit demi sedikit terlihat pada pipi Mai. Bisa Adis rasakan bahwa Mai sedang malu atau gugup. Adis lalu terkekeh.

"Sama, aku juga mikir gitu, kok," imbuh Adis. Gadis berambut sebahu itu kemudian melanjutkan kegiatannya memakan mi ayam. Berpura-pura tak terlalu peduli pada Mai yang mulai terlihat gugup.

Tebakan Adis benar. Mai tidak memungkiri itu. Hanya saja, ia khawatir jika perasaannya ini berlebihan dan tidak benar. Lagipula analisanya tidak terbukti. Hanya berdasar pemikiran liar dan perasaannya sendiri yang mulai berbeda pada Baskara.

Setelah percakapan yang memancing kecanggungan itu terhenti, keduanya memutuskan untuk menghabiskan sarapan mereka. Bukan maksud keduanya mengakhiri perbincangan itu. Hanya saja, mereka tak tahu harus melanjutkannya dengan bagaimana.

Mai dan Adis berjalan beriringan dari kantin ke gedung fakultas ilmu budaya. Mai akan berkonsultasi dengan dosen pembimbingnya, sementara Adis hanya ingin menikmati wifi gratis di gedung fakultas Mai. Untungnya, hari ini Adis tidak ada kelas. Dosennya membatalkan kelas hari ini dan berencana menggantinya akhir pekan nanti.

Ketika Mai keluar dari ruang dosen, ia menghampiri Adis yang tengah duduk di meja besar yang dikelilingi kursi—salah satu tempat bersantai di dalam gedung fakultas. Mai sedikit mengeluhkan revisi dari dosennya yang menurutnya terlalu banyak.

Adis terkekeh. "Ya udah, Mbak. Skripsi pikir nanti. Sekarang giliran kita menikmati wifi, hehe."

Ketika keduanya larut dalam dunia masing-masing—dunia maya—lagi-lagi Mai teringat Baskara. Lelaki itu bahkan mengucapkan selamat pagi dan memberi semangat pada Mai pagi tadi. Lalu baru saja, Mai menerima pesan dari Baskara. Bas memberi kabar pada Mai kalau ia akan menerbitkan antologi puisi dan ia akan mengirimkan versi cetaknya pada Mai. Bas juga berkata bahwa Mai adalah orang pertama yang akan membaca antologi tersebut setelah pihak penerbit dan Baskara sendiri.

Mai semakin gugup. Bagaimana mungkin Mai diperlakukan seperti orang spesial begini jika Baskara tidak menaruh hati padanya? Meski bukan orang spesial dari segi romansa pun, setidaknya mungkin Baskara sudah menganggap Mai teman dekat. Mai meyakinkan dirinya dengan kemungkinan kedua.

"Dichat doi lagi ya?"

Suara Adis yang sangat dekat dengan telinga Mai membuat Mai spontan sedikit menjauh karena terkejut. Wajahnya benar-benar menampilkan raut panik, dan Adis menyadari itu. Hal itu membuat Adis yang memang berniat mengusili Mai cekikikan.

Ponsel berbalut soft case coklat muda dengan ragu Mai sodorkan pada Adis. Layarnya menampilkan obrolannya dengan Bas di DM Twitter. Kemudian, Adis mengambil alih ponsel itu dan membaca obrolan keduanya dari awal. Menyaksikan interaksi semanis itu membuat Adis mengulum senyum berkali-kali.

May I Read Your Heart?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang