Bas memasukkan barang-barangnya ke box setelah mengirim paket berisi sebuah novel gratis kepada Mai. Lusa Bas sudah harus pindah. Masa kontrak rumahnya bersama teman-teman kuliah di Jakarta telah habis. Ia juga sudah mengurus tuntas berkas-berkas setelah kelulusannya dari universitas. Lusa, ia akan kembali ke kota asalnya.
Sedikit terasa berat karena harus meninggalkan Jakarta dan seluruh keindahannya. Namun setidaknya, ia akan kembali tinggal bersama keluarga dan berencana bekerja di sana. Lagipula ayah dan ibunya sudah menua. Bas sebagai anak sulung merasa harus bertanggung jawab untuk membantu dan merawat orang tua serta adiknya.
"Lain waktu jangan ragu buat main bareng lagi, ya! Setelah ini kita bakal beda kota. Tapi untungnya deket." Yovan, salah seorang teman satu kontrakan Bas menepuk-nepuk bahu Bas, seolah berusaha meneguhkan hati lelaki bermata bulat itu. Setelah wisuda, Yovan diterima di salah satu perusahaan properti di Surakarta sebagai akuntan. "Dua jam doang perjalanan antar kota kita."
Bas tersenyum dan mengangguk. "Tapi kayanya kita bakal sibuk sama urusan masing-masing."
"Diusahakan ketemu minimal setahun sekali lah, Bas. Healing ke mana gitu. Di Jawa Tengah banyak tempat wisata, kan?"
Bas terkekeh. "Iya, deh. Diusahakan."
Bas mengemasi barang-barangnya. Box-box yang telah ia tutup rapat dengan tali atau lakban ia letakkan di sudut ruang televisi. Sesekali Bas menghela napas panjang karena letih berkemas. Kalau saja ia punya banyak uang, ia akan memanggil jasa beres-beres rumah.
Alasan Bas menjual buku-bukunya adalah karena kamar yang ia tempati di rumah orang tuanya sudah penuh oleh barang. Ada dua lemari di sana. Satu lemari pakaian dan satu lagi lemari buku dan barang-barang lain seperti alat tulis, album foto, CD, atau koleksi merchandise dari berbagai event. Jika ia membawa terlalu banyak barang dari Jakarta, pastilah orang tuanya akan menegur. Sebab jika ada terlalu banyak barang di kamar dan tidak cukup ruang kosong, kamar tersebut kemungkinan akan terlihat tidak rapi dan pengap.
Bas duduk setengah rebahan di sofa ruang televisi. Matanya terpejam dan tangannya ia rentangkan lebar-lebar. Tiga teman yang mengontrak rumah bersamanya sudah terlebih dahulu pulang atau merantau ke kota lain. Kini tinggal Bas dan Yovan yang masih tinggal.
"Capek, Bas?" tanya Yovan. Bas hanya terkekeh singkat ketika matanya masih terpejam, membuat Yovan mendengkus kesal. "Tadi mau gue bantu nggak mau."
"Nggak mau ngerepotin orang."
"Gue bukan orang, gue rubah."
Candaan Yovan berhasil membuat Bas membuka mata. Mata bulatnya melirik Yovan. "Kenapa bukan serigala?"
"Bener juga. Biar jadi ganteng-ganteng serigala." Yovan mengusap dagunya sambil mengangguk-angguk. Ia rasa secara tersirat Bas menganggapnya tampan.
"Oh, second lead."
"Sialan lo, Bas."
Bas terkekeh. Namun kekehannya terhenti ketika ponselnya bergetar beberapa kali. Diraihnya benda berwarna hitam yang tergeletak di meja di hadapannya. Bas mendapati beberapa notifikasi dari twitter di ponselnya. Pesan dari Mai. Jarinya cepat-cepat menekan notifikasi tersebut. Terlihat Mai mengirim foto paket novelnya.
Omamamai: Kak Bas, novelnya yang Avatar Series udah sampai.
Bangbrob: Aman nggak kondisinya?
Omamamai: Aman kok. Masih mulus. Masih ada sampul plastiknya juga, hehe. Makasih, Kak
Bas tersenyum lega. Walau pengiriman tertunda, paling tidak paketnya selamat. Kini Bas tinggal menunggu kabar kedatangan satu paket novelnya lagi di rumah Mai. Semoga tidak ada kendala dan sudah sampai besok. Novel yang ia berikan kepada Mai ia anggap sebagai salam perkenalan dan juga salam pamit karena setelah ini Bas tidak lagi berada di kota yang dekat dengan Mai. Meski Bas tidak menceritakan kepindahannya pada Mai. Lagipun itu bukan urusan Mai sebagai orang yang baru ia kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
May I Read Your Heart?
Roman pour AdolescentsSetelah berhasil membeli novel incarannya dari seseorang bernama Bas di twitter, Mai membawa novel-novel itu ke kota rantauannya-kota tempat ia berkuliah. Mai juga menjadi akrab dengan Bas sebab keduanya kerap bertukar informasi seputar buku. Ketika...