Kara menawarkan tumpangan pada Mai setelah ia dan Mai puas berkeliling toko buku untuk sekadar membaca sinopsis pendek pada sampul belakang buku atau tenggelam dalam obrolan seputar buku. Kara sempat melihat karya tulisnya bertengger di salah satu rak toko, namun ia abaikan. Lagipula, ia selalu menggunakan nama pena di mana pun ia memublikasikan karyanya. Hanya teman-teman satu kontrakannya semasa kuliah yang tahu betul tentangnya.
Dua insan itu keluar dari toko tanpa membeli buku barang satu pun. Kara terpaksa menawarkan tumpangan pada Mai karena tempat tinggal mereka berdekatan—untuk saat ini. Demi menjaga nama baiknya dan tetap menjalankan nilai dan prinsip kehidupan yang ia pegang. Jangan biarkan orang lain di dekatmu kesulitan padahal kamu sangat mampu untuk membantu.
Setidaknya saat ini Kara membantu Mai untuk menghemat ongkos transportasi.
"Udah mau maghrib. Mau salat di mana, Mai?" Kara mengeluarkan helm yang ada di bagasi motornya. Beruntung, Doni selalu menaruh helm cadangan di bagasi motor itu, untuk berjaga-jaga jika Adis butuh tumpangan. Kara lalu memberikan helm putihnya pada Mai.
"Masjid Simpang Lima aja, gimana?" usul Mai.
"Oh, boleh. Aku belum pernah ke sana lagi semenjak direnovasi."
Kara memakai helmnya. Ia kaitkan sabuk helmnya. Lalu, ketika ia melihat sabuk helm Mai tidak dikaitkan, ia berkata, "Sabuk helmnya, Mai."
Mai cepat-cepat mengaitkan sabuk helmnya, namun sialnya ia terlihat kesusahan.
"Bisa?" Kara mengambil alih sabuk helm Mai dan memasangkannya. Lelaki itu tersenyum tanpa ia sadari, hanya karena melihat Mai yang kebingungan. "Permisi ya, Mai."
Kara juga membetulkan posisi helm Mai yang sedikit miring ke kanan. Tingkah Kara memancing perasaan gugup Mai. Ia bisa merasakan hal tak biasa di dalam dadanya yang membuatnya mulai tak nyaman. Hingga ketika motor yang mereka tumpangi melaju membelah keramaian kota, Mai masih terbungkam sebab gugup.
Sampai di masjid, keduanya melaksanakan ibadah maghrib bersama jemaah lain. Keduanya kembali bertemu di halaman masjid usai melaksanakan salat. Sejenak, Mai terpaku dengan rambut basah Kara yang disisir sembarangan ke belakang menggunakan tangannya. Sudah dua kali ia melihat dahi Kara yang biasanya tertutup poni.
"Mau makan sekalian?" Tawaran Kara membuyarkan Mai yang terpaku.
"Oh, boleh."
"Atau langsung pulang?"
"Makan." Mai mengangguk seraya tersenyum canggung.
Kara bersyukur dengan jawaban Mai, mengingat dirinya terbiasa makan tepat waktu. Saat ini sudah memasuki jam makan malam Kara. "Oke. Di mana?"
Mai menoleh keluar halaman masjid yang langsung berhadapan dengan lapangan Simpang Lima. Lelaki di hadapannya mengikuti arah pandang Mai. Namun keduanya hanya mampu melihat orang-orang bersepeda di lapangan.
"Mau nasi kucing nggak? Atau mi? Nasi goreng?" Ibu jari tangan kiri Kara menunjuk ke depan gerbang masjid. "Di pinggir jalan depan banyak."
Keduanya memutuskan untuk berjalan keluar halaman masjid. Lalu pilihan mereka akhirnya jatuh kepada mi yang dijual di angkringan tepi jalanan depan masjid. Keduanya memesan mi goreng dan teh hangat.
"Habis ini pulang?" tanya Kara ketika keduanya menikmati santapan malam ini.
"Iya. Emang mau ke mana?"
"Enggak. Kali aja mau ke mana gitu."
"Oh, kalau misal ada perlu, aku pulang naik ojol nggak pa-pa, Mas."
"Kamu buru-buru nggak?"
Mai menggeleng.
"Mau ke Art Gallery nggak? Masih buka jam segini. Kota lama juga bagus jam segini."
KAMU SEDANG MEMBACA
May I Read Your Heart?
Teen FictionSetelah berhasil membeli novel incarannya dari seseorang bernama Bas di twitter, Mai membawa novel-novel itu ke kota rantauannya-kota tempat ia berkuliah. Mai juga menjadi akrab dengan Bas sebab keduanya kerap bertukar informasi seputar buku. Ketika...