❗❗⚠️⚠️⚠️⚠️
WARNING!!
Konten dibawah mengandung hal-hal yang mungkin mengundang trauma.
Harap bijak dalam membaca, terima kasih.
***
Korek berulang kali ditekan, percikannya menerangi sesaat ruangan yang temaram. Suara penuh kelegaan dari Raga menyambut api yang menyala dari korek, api disalurkan ke lilin yang berada di atas roti ulang tahun yang dibawa Lala. Aku tersenyum tipis, wajah keduanya terlihat jelas, cahaya lilin menyinari seisi ruangan.
“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, Ragil, selamat ulang tahun.” Keduanya bernyanyi dengan riang, aku tersenyum menatap wajah keduanya yang semringah.
“Tiup lilinnya, jangan lupa make a wish.” Lala berujar begitu semangat, sedangkan aku mengangguk memejamkan mata untuk sejenak dan meniup lilin, cahaya padam.
Aku bergerak menyalakan lampu, menghela napas panjang saat mendapati ruangan yang kosong. Hanya ada sepotong kue kecil dan lilin yang sudah padam. Aku kembali duduk, mengambil sebungkus rokok dan menyalakannya dengan korek meski susah payah, menarik setiap komposisinya dan mengembuskan kembali dalam bentuk asap. Lepas dengan itu, aku memasang headset bluetooth menghubungkannya dengan ponsel dan menyalakan video favorit. Aku mendengarkan segala percakapannya dengan saksama, tidak ketinggalan satu dialog dan membayangkan betapa menyenangkannya situasi yang ada di video. Aku merebahkan tubuh di ranjang, menatap lurus ke arah langit-langit kamar.
“Nggak mau jalan-jalan?” Suara Raga menggema, sosok itu duduk di sisi ranjang, menatap ke arahku dengan intens.
“Males, nanti nyokap ngomel lagi.” Aku menjawab dengan ketus, tidak tertarik dengan idenya.
“Lo diem gini aja dia juga ngomel kali.” Kali ini Lala yang menyahut, ikut duduk di sisi Raga.
“Salahnya, sih. Gue pakai lahir segala.” Aku menyahut dengan nada datar, sedangkan Raga dan Lala hanya saling berpandangan dan menggeleng. Keduanya adalah sahabat yang selalu ada sejak usiaku lima tahun, aku bertemu mereka di rumah sakit dan masih menjadi teman hingga sekarang.
“Tapi, lo belum mati juga.” Raga menyeringai, sedangkan aku mendengkus.
“Lo berdua salah timing, jadi cuma keserempet, Lala si paling ribet, padahal kalau aku berhasil ketabrak, minimal bisalah sekarat.” Aku menggeleng, ide mereka tidak pernah berhasil dan aku muak mengikuti ide mereka yang tidak berkembang.
“Yaudah, jadi anak nurut nyokap aja.” Lala yang mendengkus, sedangkan aku menghela napas panjang.
“Bukannya udah?”
“Btw, tahun ini lo tujuh belas, ya?” Raga mengajukan pertanyaan dan aku mengangguk.
“Lo nggak mau lepas kita berdua?” Lala menambahkan pertanyaan, sedangkan aku menghela napas panjang.
“Gue harus kabur kalau mau ngusir lo berdua. Ada saran kota yang bagus?” aku menatap keduanya, mereka hanya menghela napas panjang.
“Kenapa harus kabur?” Lala mendengkus, sedangkan aku terkekeh.
“Yakali aku lepasin kalian waktu aku disini, gila aja. Ingat apa yang terjadi waktu Dokter Endra nyaranin aku pergi ke psikiater? Nyokap ngamuk, maki-maki gue parah banget, waktu itu sampai ngebuat Raga narik gue buat tenggelam di kolam renang, kan?” Aku berdecih ketika melihat keduanya terdiam, sedangkan aku menghela napas panjang.
“Setelah lulus SMA mungkin, aku akan lari sejauh yang aku bisa, tabungan aku udah cukup, kalau itu udah terjadi, kalian nggak perlu ada nemenin aku, seenggaknya sampai gue bener-bener punya temen.” Aku memutus pembicaraan, memutuskan kembali fokus mendengar percakapan yang masih mengalun di telinga. Video momen ulang tahun itu aku gambarkan dalam bentuk bayangan, dengan tokoh utamanya adalah aku. Aku memejamkan mata, bahkan disaat aku tahu bahwa Mama sedang memaki dan memukul pintu kamarku kencang karena aku memblokir nomornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle 'Story'
General FictionKarena berjuang memiliki banyak wajah Karena berjuang memiliki banyak rupa Karena berjuang memiliki banyak makna INI HANYA SEKUMPULAN ONESHOOT