Memori Pagi

73 11 0
                                    


            Alya masih menerawang ke arah luar jendela, kereta memang berjalan sangat cepat sampai rasanya tubuhnya melesat jauh, ya melesat jauh, melesat jauh meninggalkan kampung halaman, berkelana untuk mencari ilmu, menjalankan kewajibannya, kewajiban yang akan menghantarkannya pada sebuah keberhasilan. 

Ya. 

"Ilmu itu segalanya dan kamu harus meraihnya sejauh apapun itu, ingat carilah ilmu sampai ke negeri Cina." 

itu adalah tuturan lembut dari sosok laki – laki yang paling dikaguminya di dunia ini, tutur kata yang selalu membuat semangatnya berapi – api, Ayah. 

Alya mendesah sebentar, menyeka air matanya lembut, kemudian memegang dadanya yang terasa sesak, ya sesak saat mengingat sosok Ayahnya yang baru beberapa minggu yang lalu pergi ke hadapan sang Pencipta, menorehkan luka dalam di hatinya dan juga penyesalan karena dirinya belum sempat membuat bangga laki – laki yang menjadi satu – satunya laki – laki yang dia percaya tidak akan pernah menyakiti hatinya. 

Alya menunduk menangis terisak, memang tidak baik menangisi orang yang sudah pergi, jauh dan tidak mungkin kembali namun kenangan itu tidak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya. Memorinya berputar mengingat kembali kebersamaannya bersama sang Ayah. Sehari sebelum dirinya memutuskan untuk meninggalkan Kota kelahirannya, menuju Yogya untuk menuntut ilmu, sang Ayah duduk di teras memanggilnya untuk minta dibuatkan kopi dan di ambilkan koran kemudian memintanya untuk menemani.

"Al ...."

"Iya, Yah? Mau apa lagi?" tanya Alya lembut, sembari tersenyum menatap wajah Ayahnya yang kian berkerut.

"Besok kamu akan pergi ke Yogya." Alya terdiam, kembali menatap wajah Ayahnya lekat, rasanya Ayahnya akan menjadi orang yang pertama kali Dia rindukan saat di Yogya sana.

"Kamu sudah berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa ini nak ...."

"Iya Yah.. itu juga berkat Ayah, Ilmu itu segalanya dan kamu harus meraihnya sejauh apapun itu, ingat carilah ilmu sampai ke negeri Cina, Alya akan selalu mengingat perkataan Ayah tentang itu." 

ya Alya akan selalu mengingatnya, dan tak akan pernah lupa karena kata – kata itu kata – kata yang menyejukkan dan sarat dengan semangat itu selalu dia dengar dari mulut sang Ayah, setiap paginya.

"Kamu sudah besar, sudah kuliah.. anak Ayah akan menjadi orang sukses.."

"Tentu Ayah, semua karena Ayah ...." 

sejenak suasana hening, samar Alya mendengar suara tangis, Dia menoleh mendapati Ayahnya tengah menangis tersedu.

"Ayah kenapa??"

"Ayah bahagia,, anak Ayah sudah kuliah ... anak Ayah sudah besar, dulu waktu kamu lahir betapa bahagianya Ayah dan mendiang Ibumu, kesedihan Ayah karena kepergian Ibu terbayar oleh suara tangismu, badan Ayah bergetar saat mengumandangkan Adzan di telingamu untuk pertama kali dan badan Ayah lebih bergetar lagi saat mengumandangkan Adzan di pemakaman Ibumu, derai tangis Ayah tidak bisa disembunyikan, tangis bahagia karena diberi amanah untuk menjagamu, dan tangis sedih karena kehilangan Ibumu, wanita yang paling Ayah cintai."

 Ayah menjeda ucapannya, Alya duduk bersimpuh di hadapan Ayahnya, menyeka lembut air mata sang Ayah. 

"Ayah ...." panggil Alya pelan, tidak mampu menahan kesedihannya, tidak mampu membayangkan bagaimana hancurnya perasaan laki – laki perkasa dihadapannya kala itu.

"Sekarang kamu sudah besar, dewasa,, dulu waktu kamu kecil Ayah merawatmu, siang malam menjagamu, Ayah tidak akan membiarkanmu terluka sedikitpun, betapa bahagianya Ayah saat kamu mulai bisa berbicara, dan memanggil Ayah, umur kamu semakin bertambah kosa kata kamu semakin banyak, jujur Ayah kasihan padamu saat kamu menatap penuh harap kepada teman – temanmu yang bermanja riang dengan ibunya dan Ayah berniat mencari pengganti Ibu namun, nyatanya Tuhan tidak berkehendak Alya, Ayah tetap harus menjagamu, permata Ayah, harta Ayah, emas Ayah satu – satunya sendiri, Ayah ingat saat Ayah mengajarimu bermain sepeda hingga bisa, saat Ayah mengajakmu ke kantor karena tidak ada yang menjagamu di rumah, dan Kamu membuat kekacauan tapi Ayah tidak marah karena kamu adalah calon orang sukses, kebanggaan Ayah."

 Ayah kembali menjeda ucapannya, menatap wajah Alya yang basah oleh air mata, disekanya lembut air mata putri kebanggaannya itu. Di ciumnya lama dahi putrinya. 

"Ayah bahagia Al.. saat permata Ayah mulai mengenal dunia, menjelajahi dunia, saat putri ayah selalu menjadi kebanggaan Ayah, dan kamu pasti tidak tahu betapa takutnya Ayah, saat kamu sakit, Ayah takut kehilanganmu, sama seperti saat kehilangan Ibumu, Kamulah harta Ayah yang paling berharga, satu – satunya hal yang berharga untuk Ayah."

 Ayah kembali menjeda ucapannya, menghela nafas panjang.

"Betapa sakit hati Ayah saat Kamu menangis karena disakiti orang lain, dan betapa Ayah sangat marah kepada orang yang telah menyakitimu, tapi.. Ayah sadar itu bagian dari proses kedewasaanmu, dan sekarang anak Ayah sudah mengerti."

"Ayah ...." panggil Alya pelan, kemudian menangis di pangkuan sang Ayah. "Maafin Alya kalau selama ini Alya buat ayah sedih, buat ayah marah, buat ayah sakit, maafin Alya karena belum bisa membahagiakan Ayah, maaf ...."

"Tidak nak, memang itu tugas seorang Ayah." Alya menangis terisak pagi itu, pagi sebelum keberangkatannya ke Kota Pelajar untuk menuntut ilmu di salah satu Universitas terbaiknya.

Alya menyeka air matanya pelan, keesokan harinya setelah pagi yang mengharu biru itu, sang Ayah mengantarnya ke Stasiun dekapan terakhir sang Ayah terasa sangat hangat, bahkan air mata sang Ayah membasahi baju yang dipakainya, Ayah melepaskan kepergiannya dengan senyuman meski air mata turut membasahi pipi keriputnya.

Tidak lama, setelah itu Alya mendapat kabar bahwa Ayahnya sakit dan masuk rumah sakit, Alya yang baru Enam bulan di Yogya berniat untuk pulang, dengan derai air mata Alya menelfon sang Ayah.

"Jangan.. Ayah tidak apa, kejar saja impianmu Alya,.. jangan pedulikan Ayah, Ayah hanya sakit biasa kok,"

"Tapi Yah..."

"Tidak apa sungguh, ya sudah Ayah istirahat dulu yaa ingatlah selalu,.."

"Ilmu itu segalanya dan Kamu harus meraihnya sejauh apapun itu, ingat carilah ilmu sampai ke negeri Cina". 

Setelah itu Ayah memutuskan panggilan, sedang Alya masih menangis, Dia tahu jika Ayahnya dalam kondisi tidak baik dan beberapa hari kemudian Dia mendapat kabar jika Ayahnya sudah berpulang ke Pangkuan Tuhan, terburu Dia menelusuri koridor Universitas, tergesa mencari kendaraan yang akan membawanya ke stasiun, dibelinya tiket, Alya pulang hari itu juga.

Alya kembali menyeka air matanya yang lagi – lagi menetes, mengingat kenangan itu membuatnya rindu kepada sosok Ayah, sosok yang telah merawatnya, mendidiknya, mengantarkannya kepada kehidupan rumit dunia yang fana, sejak kecil, sejak kehadirannya ke alam dunia, tanpa ada sedikitpun rasa benci kepada dirinya karena kehadirannya yang menyebabkan wanita yang paling dicintainya meninggal. 

Alya menatap album foto di pangkuannya, kepergian Ayah masih menjadi hantaman keras untuknya, mungkin ini alasan kenapa Ayah mendesaknya untuk mengejar beasiswa, karena Ayah tahu bahwa tak selamanya Dia bisa berdiri disamping putrinya, seorang putri yang hadir sebagai hadiah penantiannya selama sepuluh tahun. Baru beberapa minggu Ayah pergi namun rindu sudah memeluknya erat, Ayah.. Aku merindukanmu. ***

Struggle 'Story'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang