Mata Angin

392 43 7
                                    

Kamu pernah bilang bahwa Kota Yogyakarta selalu membuatmu jatuh cinta berulang kali sama sepertimu yang jatuh cinta berulang kali kepada cinta pertamamu yang gagal. 

Aku bahkan tidak sepenuhnya mengerti kenapa kamu mengatakan itu kepadaku semasa aku hidup dulu. Namun sekarang, setelah melihatmu hanya duduk diam sembari menatap Monumen Serangan Umum aku mengerti apa yang kamu pikirkan.


Sejak tubuhku berteman dengan tanah dan jiwaku melayang tidak jelas di Kota Yogyakarta yang bahkan bukan tempat kelahiranku, kamu selalu duduk di perempatan Nol Kilometer Yogyakarta dan menatap Monumen Serangan Umum yang terterpa cahaya matahari sore. 

Seingatku ... dulu aku dan kamu sering menghabiskan waktu bersama di sana, bercerita tentang tempat-tempat indah di Indonesia, tentang sisi negatif negara tercinta dan sisi prestatif yang beberapa diakui dunia. Terkadang, kamu dan aku akan membahas tentang politik dan pemilu yang sengit karena persaingan.

Aku pernah mengatakan kepadamu, bahwa di perempatan di mana titik Nol Kilometer Yogyakarta berada, kita bisa mengetahui mata angin dengan sempurna dan satu hal yang istimewa adalah ... karena di sana berdiri bangunan bersejarah yang menjadi saksi pahit dan kelamnya sejarah yang pernah Indonesia alami. Saksi bisu tentang kebobrokan dan prestasi tanpa pernah bisa menyangkal.

"Bahkan saat mereka dipaksa untuk bicara pun, mereka tidak akan melakukannya bukan?"

Kamu berceletuk seperti itu saat aku mengatakan kisah tentang saksi bisu. Itu sudah lama, kira-kira itu adalah kunjungan pertama kamu dan aku setelah resmi menjadi mahasiswa di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. 

Kamu juga menceritakan tentang jatuh cintamu yang berulang kali dengan senyuman lebar.

Itu sudah lewat dari satu tahun yang lalu dan aku bersyukur masih mengingatnya, bahkan meskipun aku hanya jiwa yang menyatu dengan angin dan hanya mampu menatapmu dari atas monumen, aku melayang dan kamu tidak akan percaya bahkan meskipun aku menceritakannya. 

Kamu tidak pernah melihatku meskipun kamu pernah bercerita bahwa kamu bisa melihat segala jenis hantu.

Kamu adalah seorang gadis yang cantik, tubuhmu ideal, tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, bukan gadis tinggi juga bukan gadis pendek. 

Saat tersenyum, orang-orang akan terpesona dan saat tertawa orang-orang akan ikut tertawa jika mendengarnya. Wajahmu adalah keturunan asli orang jawa karena ayahmu adalah orang Jawa Barat dan ibumu orang Jawa Timur. 

Kamu dan aku besar bersama di salah satu daerah di Jawa Tengah dan merantau bersama di Yogyakarta dengan status mahasiswa.

"Kamu tahu nggak, kenapa aku ngajak kamu ke sini?" Memori itu adalah memori saat pertama kali kita berada di sana. Aku hanya menggelengkan kepala polos dan membuatmu sedikit kesal.

"Bersejarah dan membuatku ingin memiliki kekuatan membaca masa lalu, rasanya ingin sekali merasakan kepelikan zaman dahulu."

Kamu selalu berangan-angan untuk menikmati suasana di zaman dahulu, di mana saat penjajah menjajah negara Indonesia karena ketamakan.

Aku ingat bahwa kamu dan aku pernah membuat sebuah buku tentang petualangan. Buku itu berisi sebuah gambar arah mata angin yang lantas akan menunjukkan kemana kamu dan aku harus pergi untuk berpetualangan menjelajahi negari permai yang biasa orang sapa Indonesia. Kamu dan aku memiliki impian yang sama, berkeliling menjelajahi isi Indonesia lantas menceritakan kepada dunia lewat sebuah karya berupa buku. Kamu ingin menulis jurnal tentang bagaimana kayanya alam Indonesia dan beragamnya budaya dan peradaban.

Struggle 'Story'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang