Be Your Self

250 32 1
                                    



Menurut Nakula, menerbangkan balon yang berisi kertas berisi impian masa depan itu, bualan para pemimpi. Pendapat yang membuat Yudhistira dengan senang hati menjitak kening adiknya keras-keras, meskipun setelahnya luluh karena jawaban Nakula yang nyeleneh namun menyakitkan, sepele tapi sarat dengan kecewa.

"Balon itu tidak pernah terbang, Mas." Nakula menghela napas panjang "Dan sekalipun terbang, balon itu akan jatuh karena gravitasi bumi, balon itu sepele, ringan, terlihat , terbang menyombongkan diri, kenapa harus diibaratkan sebagai pengantar mimpi? Bukankah lebih baik kita berbisik kepada angin tentang mimpi kita dan membiarkan angin membisikkan kepada alam apa impian kita?"



Nakula berhenti menghitung uang receh yang dia dapat dari celengan berbentuk ayam jago kesayangannya, kemudian remaja tujuh belas tahun itu menghembuskan napas panjang. Malam ini adalah malam di hari terakhir Ujian Nasional yang membuat otaknya berasap. 

"Mas, Bapak sama Ibuk sedih ya punya anak yang nggak punya mimpi kaya Nakula?" Yudhistira mengulaskan senyuman manisnya, kemudian menyerahkan pecahan uang lima ratus yang sudah selesai dia rekatkan dengan isolasi bening. 

"Kamu ngumpulin uang buat apa?"

"Buat ngasih hadiah Bapak sama Ibuk, mereka sebentar lagi ulang tahun pernikahan kan?" pemuda yang sekarang menginjak semester lima di sebuah universitas negeri di Yogyakarta itu terkekeh. 

"Kenapa kamu nggak ngasih mereka pengumuman kelulusanmu di universitas terkenal?"

"Mas, bukannya menyayangi itu menerima apa adanya ya?" Yudhistira tersenyum, lantas memilih diam sembari membantu adiknya menghitung uang. Yudhistira tahu betul, bahwa tidak ada satu pun manusia yang tidak memiliki mimpi. 

"Dek, bisa nggak? Melakukan sesuatu yang membuat Bapak sama Ibuk bangga, melakukan apa yang kami inginkan? Sekolah yang bener, berhenti bolos dan buat onar, berhenti main-main nggak jelas di lampu merah atau di Malioboro, kamu udah gedhe, meskipun kamu anak terakhir tapi kamu tetap harus mandiri." Nakula memilih menunduk kemudian mengumpulkan uangnya di satu kresek hitam. "Mas, emang nggak bisa yaa? nerima Nakula apa adanya?"

"Bukan gitu, tapi ...." Yudhistira menjeda kalimatnya saat melihat Nakula terlihat enggan melanjutkan pembahasan, adiknya terlihat bingung atau mungkin dirinya yang tidak bisa membaca raut wajah adiknya. 

"Mas pasti pengen aku kaya Rama, pinter, bisa diandelin, bisa mandiri dan bisa semuanya, Rama anak yang diimpikan semua keluarga bukan? Tapi mas ... aku pernah mikir gini, apakah Rama menikmati harinya sebagai Rama yang diimpikan banyak keluarga? Apakah Rama sudah menjalani hidup sesuai kemauannya? Apakah Rama adalah Rama?"

Nakula menghembuskan napas panjang kemudian menatap langit Sleman yang berkerlip karena bintang yang bertaburan. 

"Mas, tahu nggak kenapa aku ngumpulin uang susah payah bukan buat kuliah tapi malah mau ngasih hadiah ke Bapak dan Ibuk?" 

Yudhistira menggelengkan kepalanya, selama ini dia terlalu sibuk untuk mendengarkan cerita Nakula tentang kesehariannya, Yudhistira malah lebih sering mendengarkan ibunya bercerita tentang sosok Rama yang merupakan sahabat Nakula yang cerdas, pintar dan bisa diandalkan, tidak seperti Nakula yang badung dan bandelnya melebihi kata bandel dan badung. 

"Bapak itu udah tua, Ibuk juga gitu, capek kalau harus dorong-dorong gerobak, bongkar pasang  buat warung, Nakula mau buat sesuatu yang bisa ngemudahin mereka dagang." Nakula menghembuskan napas panjang, sedangkan Yudhistira tertegun mendengar kalimat adiknya. 

Struggle 'Story'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang