7. Chit-chat di UKS

66 13 0
                                    

Pusing Ahan menang dengan rasa ingin mengikuti pelajaran. Disinilah dia, membuka pintu UKS sendirian. Reza sempat menawarkan bantuan, tapi Ahan menolak, tidak mau mengganggu waktu belajarnya. Bahkan, jika saja Pak Buw tidak menyuruh Ahan ke UKS karena beliau gemas melihatnya tidak fokus, dia tidak akan meninggalkan kelas dan tidak pergi ke ruang bau obat-obatan.

Miss Lia, dokter yang bertugas di UKS, membantunya berbaring di kasur. Beliau menanyakan keluhan dan menanyakan apakah Ahan sudah sarapan atau belum. Setelah Ahan mengatakan sudah, beliau memberikan obat yang harus Ahan minum untuk meredakan pusingnya.

Beliau menyuruhnya istirahat, Ahan mengangguk menurut. Kepalanya sudah menempel di bantal, jadi biarkan dia mengistirahatkan tubuhnya.

Ahan baru bangun dan jam menunjukkan  pukul dua siang. Tidak ada niatan untuk berdiri dan kembali ke kelas. Dia memilih melihat langit-langit ruangan, memikirkan bagaimana dia pulang dengan motornya.

"Kamu bisa jemput aku nggak? Perutku masih sakit."

"Al, aku bilangin Mami kalau kamu nggak mau jemput aku."

"Pake mobil aja please."

"Kamu balik dong ambil mobil."

Suara itu, Ahan tahu pemilik suara tersebut. Hanya tertutupi tirai, dia bisa mendengarnya dengan jelas bahwa itu Aima. Perempuan itu menelpon dengan sangat keras. Mana bisa Ahan tidak mendengar orang yang berbicara di sebelah kanannya.

"Ngapain Ai?" tanya Ahan akhirnya, mencoba basa-basi dengan suara serak khas orang sakit.

Tidak ada jawaban. "Bolos?" tebak Ahan salah. Dia tahu, hanya basa-basi saja.

Ahan bisa mendengar decakan perempuan tersebut. "UKS emang sarang bolos," balas Aima ketus. Ahan tidak menanggapi.

"Lo nggak pulang?" Aima bertanya. "Temen lo nggak nganter lo pulang?" Lagi, Aima bertanya.

"Kenapa?" Ahan balik bertanya. Enggan juga untuk menjawab pertanyaannya.

"Cuma nanya. Lo tuh sensi banget ya sama gue Han?"

Lah? Perasaan yang sensi dia....

Ahan mencoba tidak menanggapi omongan Aima. Terlalu nyeleneh dan membuat emosi jika membalasnya. Ahan tidak kuat jika harus mendengar celotehan itu lebih lanjut, jadi diam menjadi pilihannya, ketimbang disalahkan padahal tidak berbuat apa-apa.

"Orang-orang pada ngira kita deket."

Kan. Aima ini kenapa membuatnya jadi kesal?

"Han, jujur aja. Lo biasanya sebel sama gue,  kenapa pas ulangan fisika lo jadi gitu?"

Memang benar jika sedari dulu Ahan tidak menyukainya. Sampai sekarang mungkin masih. Alasannya tidak simpel, Aima ini sewaktu SMP pernah memanggil nama Ayahnya di depannya. Dia memanggil Ahan dengan nama Ayahnya. Hal itu membuat Ahan marah mati-matian dengan Aima. Bahkan, saat bertemu dengannya, Ahan meliriknya sinis secara terang-terangan.

"Semuanya waktu ngomong sama lo gue murni ngejek lo kok, selain kemarin gue pinjem pensil," jawab Ahan jujur tak ditutupi.

"Iya kan? SUMPAH ya, orang-orang pada bilang kalau lo tuh godain gue yang kayak godain gebetannya masak?! Gue juga dengernya gitu kok Han, lo tuh emang ngejek gue."

Dari balik tirai, Ahan geleng-geleng kepala. "Oh ya Han, gue juga mau minta maaf ke lo. Maaf ya waktu kelas 8, gue manggil lo pake nama bapak lo. Waktu itu gue disuruh Lita, katanya itu nama lo. Ternyata nama bapak. Maaf ya baru minta maaf sekarang."

"Waktu manggil, lo nggak tahu nama gue?" tanya Ahan. Dia baru mengetahui fakta tentang ini.

"Enggak."

Ahan manggut-manggut. Dia juga tidak tahu nama Aima waktu itu. Hanya menaruh di list lingkup manusia yang harus dihindari, dan menaruh Aima di posisi pertama dengan sebutan 'Cewek gila kelas C'

"Kemarin lo periksa mata?" Aima mengiyakan pertanyaan Ahan. "Kacamata lo, oke juga," komentar Ahan pelan, berhasil membuat Aima malu. Padahal bukan dia yang dipuji.

"Kak?"

Aima menoleh. Menemukan Aldi yang sudah berganti pakaian seragamnya. Aldi membantunya turun dari kasur dan Aima baru sadar, laki-laki itu sudah membawa tasnya. Mendengar Aima hendak pulang, Ahan juga turun.

"Han? Wajah lo pucet banget. Lo yakin bakal pulang sendiri naik motor?" Aima baru bisa melihat wajah Ahan dengan jelas karena sedari tadi mereka mengobrol dengan tertutup tirai pembatas.

"Udah hubungi temen kelas? Atau mungkin Fathir temen deket lo?" lanjut Aima lagi.

Tadi Ahan sudah mengirim pesan kepada Fathir tapi laki-laki itu sepertinya masih sibuk dengan tugas kelompoknya seperti yang kemarin mereka obrolkan. Teman kelasnya juga sibuk hari ini, salahkan tugas kelompok Pak Yol karena mereka kalang kabut mencari bahan presentasi. Untungnya bagian Ahan sudah dia kerjakan, jadi tidak perlu repot-repot pusing dibantai deadline.

"Kak, sorry sebelumnya. Mungkin kalau berkenan bareng sama kita aja. Gue bawa mobil kok. Tenang, bukan gue yang nyetir. Ada papi gue. Ini, bukan pacar gue ya. Kak Aima kakak gue."

"Iya, bareng aja Han. Rumah lo masih disitu kan?" Aima ikut menimpali.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dia terlalu lemah untuk membawa motornya. Tapi, jika ada Papi Aima, bukankah akan terasa canggung dan dia juga tidak pernah berada di posisi ini. Ahan juga takut merepotkan keluarga Aima, apalagi perempuan itu juga di UKS bersama dengannya.

"Udah, ayo."

Aldi membantunya berjalan. Sampai di mobil, Ahan merasa bahwa dia perlu meminta izin kepada Papi Aima karena beliau mengernyit heran melihatnya. "Dia temenku Pi. Bisa anterin dia ke rumahnya dulu kan?" Aima ternyata lebih dulu menanyakan.

"Al, cepetan bawa ke mobil," jawab Papi membukakan pintu penumpang untuk Ahan dan Aldi.

"Om, maaf merepotkan," ucap Ahan meringis. Memperlihatkan ketidak enakannya telah mengantar sampai rumah.

"Enggak lah. Siapa yang bilang kamu merepotkan. Justru saya senang kalau direpotkan oleh teman Aima. Kalian satu kelas ya?" balas Papi.

"Bukan om. Saya dari kelas sebelah–" Belum sempat Ahan melanjutkan, Aima sudah memotongnya. "Dia temen SMP-ku Pi."

Bisa Ahan lihat, Papi Aima lebih tertarik dengan penyebutan teman SMP ketimbang teman SMA. Dari raut wajah beliau, banyak tersirat pertanyaan-pertanyaan yang ingin beliau lontarkan tapi ditahan. Mungkin takut karena Ahan sedang sakit dan tidak jadi bertanya agar Ahan bisa beristirahat lebih tenang.

"Kamu kok bisa tahu alamatnya Ai? Ahan aja belum ngasih tahu alamatnya ke Papi lho." Papi melirik Aima yang sibuk bermain ponsel. "Papi jadi curiga kamu ada something sama Ahan." Aima geleng-geleng kepala. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan Papi barusan.

"Faktanya emang ada something Pi," bisik Aldi pelan di kursi belakang. "Kak Ahan lagi tidur. Jadi, kamu harus ngasih penjelasan ke kita tentang hubunganmu sama Kak Ahan."

"Dia duluan yang suka atau kamu duluan yang suka?" Papi menaik-turunkan alis, bermaksud menggoda putrinya.

"Papi kalau tahu kelakuanku ke Ahan waktu SMP kayak gimana, Papi pasti malu udah ngomong kayak gitu." Tangan Papi membenarkan kaca. "Kenapa gitu?" tanya beliau.

"Soalnya aku malu-maluin banget ke Ahan!"

"Itu lebih bagus! Daripada kamu malu-maluinnya keri-keri, malah bahaya itu."

Aldi menahan tawanya untuk tidak keluar. "Dia udah tahu kamu malu-maluin, tapi dia masih stay disini aja udah menjelaskan," komentar Aldi, tak menunggu waktu lama dia mendapat cubitan di kakinya.

"Aldi.... dia kan lagi sakit..."


____

30-06-24

Keri-keri : entar-entar

Balik Kanan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang